Yummy Cupcake

Selasa, 26 Maret 2013

Resume Sosiologi Umum TPB : PENGGULINGAN KEKUASAAN : ANTARA ORLA DAN ORBA


PENGGULINGAN KEKUASAAN : ANTARA ORLA DAN ORBA
Oleh : Panji Semirang

            Pengertian Orde Lama adalah tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara zaman Presiden Soekarno. Tatanan penggantinya, yang berusaha melakukan koreksi atas Orla, disebut Orde Baru yang kemudian di koreksi lagi oleh Orde Baru yang lebih Baru (Orbaba). Pada dua kali pergantian orde tersebut terjadi pertumpahan darah, langsung maupun tidak langsung.
            Pertumpahan darah pergantian Orla dilakukan oleh PKI yang kemudian terjadi balas dendam yang cukup dahsyat. Pertumpahan darah pergantian Orba dilakukan oleh orang-orang bersenjata terhadap pendemo di Universitas Trisakti. Begitu pula Orbaba yang menggantikan Orde Baru melalui proses yang sama.

PERSAMAANNYA
            Mahasiswa pada awalnya bergerak mengadakan aksi atas nama moral. Apa yang tidak baik diserang, minta diperbaiki. Harga BBM dan tarif angkutan dinaikkan dalam rupiah yang terlebih dahulu jatuh. Arah politik kemudian menjadi menonjol. Kedua presiden agar diturunkan. Semua sistem yang diberlakukan dengan bengkok agar diperbaiki secara mendasar. Kobaran aksi demo lebih dipicu dengan mengorbankan jiwa pendemo. Jatuhnya korban di Universitas Trisakti memicu percepatan aksi reformasi selanjutnya. Kedua demo antara lain disebabkan oleh parpol yang pongah dan presiden yang sangat berkuasa.

PERBEDAANNYA
            Pada awal Orba, makin lama hubungan pendemo dan ABRI makin erat. Selain itu, terus terang media massa kali ini juga membantu pendemo. Pada tahun 1966 tidak ada korban jiwa lebih banyak. Pada tahu 1998, penculikan, penembakan, dan kerusuhan, konon terkoordinasi. Peristiwa tragis sejarah yang berulang sebenarnya dapat “dicegah”. Semacam hukum karma dapat tiba. Namun, manakala manusia pelaku sejarahnya berhati-hati dan sadar akan sejarah, dia akan terhindar untuk mengulang. Adalah menyedihkan seseorang yang pernah “menggulingkan” kekuasaan mengalami digulingkan kekuasaannya oleh pihak lain.

Resume Sosiologi Umum TPB : SAMPANG DAN TRADISI PERLAWANAN


SAMPANG DAN TRADISI PERLAWANAN
Oleh : Anwar Hudijono

            Acap kali mendengar daerah Sampang (Madura), orang luar mengasosiasikan dengan sosok masyarakat yang sifatnya kaku dan keras. Masyarakat yang hidup di daerah tandus, berbukit-bukit, dalam deraan dan memiliki tradisi heroik melakukan perlawanan terhadap kezaliman penguasa.
            Seperti yang terjadi pada tahun 1993. Ketika petani miskin mempertahankan martabat dan hak-hak mereka atas tanah yang akan dijadikan waduk. Peristiwa ini kemudian menyejarah dengan sebutan Tragedi Nipah. Bukan itu saja, pada tahun 1997 masyarakat bergolak menentang hasil pemilihan umum karena dinilai tidak adil, penuh kecurangan dan rekayasa untuk memenangkan partainya penguasa, Golkar. Peristiwa ini dicatat sebagai cikal bakal penting perjuangan demokrasi di Indonesia. Sampang yang memberi ilham masyarakat lain bahwa kalau membangun demokrasi, jangan cuma bicara teori tetapi harus melalui action melawan rezim otoritarian.
            Perlawanan merupakan ornamen kultural Sampang. Sampai rezim Orde Baru runtuh, Sampang merupakan daerah yang sulit “ditaklukkan”. Lihat saja proyek Waduk Nipah yang gagal. Kenapa masyarakat mampu melawan begitu alot dengan stamina tinggi, termasuk terhadap proses politik birokratisasi Orde Baru di mana negara hendak mengusai seluruh aspek kehidupan masyarakat ? Bisa jadi karena mereka mewarisi tradisi perlawanan yang terbentuk melalui perjalanan sejarah yang panjang.

Resume Sosiologi Umum TPB : TERJADINYA PEMUSATAN KEKUASAAN "Catatan untuk Bachrun Martosukarto"


TERJADINYA PEMUSATAN KEKUASAAN
Catatan untuk Bachrun Martosukarto
Oleh : Sulardi

            Harian Republika pada hari Jum’at 24 April 1998 menurunkan tulisan Saudara Bachrun Martosukarto (SBM) berjudul Upaya Menghindari Pemusatan Kekuasaan dapat membuat pendapat, bahwa perjalanan Negara bangsa ini mengarah pada suatu Negara otoriter dengan pemusatan kekuasaan pada Presiden. Namun dari tulisan itu dirasakan ada lubang yang perlu ditambal agar ada kejelasan terjadinya pemusatan kekuasaan yang selama ini terjadi di Indonesia. Sementara itu pada bagian akhir SBM memberikan jalan keluar dari pemusatan kekuasaan yang kini terjadi dengan menganjurkan agar lembaga-lembaga tertinggi dan tinggi Negara harus diletakkan dalam proposisi yang sebenarnya, atau memerankan lembaga-lembaga Negara seperti yang di amanatkan UUD 1945. Anjuran tersebut tepat tetapi tidak tuntas.
            Tulisan ini bermaksud menutupi lubang pada artikel tersebut. Bahwa setelah 53 tahun Indonesia merdeka  bangsa  ini  masih  terengah-engah  untuk  menciptakan bangunan  hukum  yang  kokoh  dan  demokratis-terbukti dengan  belum  terciptanya suasana yang demokratis-sesungguhnya karena tidak adanya keseimbangan kekuasaan antara Presiden dan DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif. Terjadinya pemusatan kekuasaan berpangkal pada demokratis yang tidak berjalan. Hal ini terlihat jelas dalam penyusutan peraturan perundangan yang cendrung mengarah pada semakin besarnya kekuasaan Presiden. Penyimpangan konstitusi pada masa ini berakhir dengan ditumpasnya G30S/PKI yang sejak itu tatanan Negara berada di bawah panji Orde Baru yang akan melaksanakan UUD secara murni dan konsekuen.
            Situasi kedua adalah telah terjadi penafsiran secara tidak benar pada kata “mandataris” sebagai atribut yang menyertai jabatan presiden yang terdapat dalam penjelasan UUD yang menyatakan bahwa presiden adalah “mandataris” MPR. Sayangnya dalam perkembangannya kata “mandataris” tidak lagi diapit oleh tanda kutip yang menjadi kekacauan dari arti kata “mandataris”. Kondisi tersebut diperparah dengan komposisi DPR yang tidak mencerminkan struktur masyarakatnya.
Ternyata situasi yang berkembang semakin mengarah pada kondisi bahwa terciptanya UU dilakukan tidak secara demokratis, bahkan cenderung ditentukan oleh presiden yang akhirnya menjurus pada pemusatan kekuasaan. Dengan demikian, maka perlu dipikirkan langkah keluar dari pemusatan kekuasaan yang kini terjadi. Adapun jalan keluar yang bisa dilakukan dengan melakukan Reformasi Politik. Untuk itu, sangat tepat usulan yang kini sering didengungkan, yakni gagasan dicabutnya paket undang-undang politik yang isinya menghambat jalannya demokratisasi dan cenderung memunculkan pemerintahan yang terpusat pada presiden.
Jadi, problem ini hanya bisa diatasi bila ada kehendak dari pemegang kekuasaan untuk melakukan perubahan. Mudah-mudahan tulisan ini bisa untuk menambal lubang pada tulisan SBM. Semoga.
 

My Acta Diurna Copyright 2009 Sweet Cupcake Designed by Ipiet Templates Image by Tadpole's Notez