LSM DAN NEGARA
Oleh
: Philip Eldridge
Pertama-tama, penting untuk
menawarkan justifikasi prima facie guna
menunjukkan bahwa LSM memang memiliki signifikasi politik. Selama ini, hampir
semua LSM cenderung mengadopsi profil yang menekankan karakter non-politik seperti
yang dapat dilihat pada langkah politik bijaksana dalam konteks Indonesia. Pada
pemikiran politik Barat, paling tidak, politik berkaitan sepenuhnya dengan
negara.
Dampak aktivitas-aktivitas LSM
terhadap perimbangan kekuatan keseluruhan antara kelompok-kelompok sosial dan
ekonomi dan pemerintah Indonesia serta beragam badan yang terkait dengannya,
sangat krusial dalam menentukan signifikan politik mereka. Sejauh bahwa LSM
meningkatkan kapasitas bagi self-management
di kalangan kelompok terbelakang, melengkapi kelompok tersebut dengan
kemampuan beurusan dengan badan pemerintahan dan kekuatan lainnya secara lebih
setara, pada dasarnya mereka berperan dalam meningkatkan kemampuan masyarakat
sipil vis-à-vis negara. Derajat
otonomi tersebut tentu harus dipandang dalam batasan relatif, terutama dalam
konteks Indonesia. Semua kelompok harus mengupayakan sejumlah modus vivendi.
LSM
memiliki dampak langsung terhadap negara melalui pengaruhnya terhadap proses
pembentukan kebijaksanaan pemerintah dan opini publik di berbagai sektor.
TERMINOLOGI
Sebuah keputusan
taktis diambil (1983), yakni meninggalkan kata Non Governmental Organization (NGO) untuk digantikan dengan istilah
Lembaga Swadaya Masyarakat / Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat
(LSM/LPSM). Dalam prakteknya, istilah NGO tetap banyak digunakan, baik karena
kelaziman penggunaannya secara internasional maupun karena menekankan identitas
pembeda dari pemerintahan.
PEMBANGUNAN
DAN MOBILISASI
Pada tahun-tahun
terakhir ini semakin banyak perhatian diberikan pada usaha pengembangan
masyarakat (community development)
dan memobilisasi masyarakat dalam berbagai isu bercakupan luas yang berkaitan dengan
ekologi dan hak asasi manusia, termasuk didalamnya persoalan status wanita, hak
kaum tani, buruh tani, serta gelandangan terutama dalam hubungannya dengan
kasus-kasus penggusuran dan perampasan tanah.
HUBUNGAN DENGAN PEMERINTAH DAN LINGKUP
KEGIATAN LSM
Meskipun terjalin
kerjasama, pemerintah tetap berusaha mencegah bangkitnya keterlibatan
masyarakat yang didasarkan pada kelompok yang secara murni mengandalkan
kekuatan sendiri. Namun anjloknya harga minyak sejak 1985 telah mengeringkan
sumber dana yang dikuasai pemerintah sehingga membuat LSM semakin menempati
peran penengah dalam perancangan program, dalam mengidentifikasi dan
memobilisasi kelompok masyarakat yang membutuhkan serta menyalurkan dana untuk
kelompok-kelompok tersebut.
LSM
DAN TUJUAN DEMOKRATISASI
Barangkali
keberhasilan utama dari LSM Indonesia di tingkat makro adalah kemampuan mereka
mengangkat isu-isu yang lahir dari pengalaman lapangan ke tingkat yang lebih
bergaung dalam agenda politik nasional. Namun demikian, pemerintah Indonesia
tetap belum siap untuk mentolerir mobilisasi massa. Terlepas dari pengaruh pemerintah
LSM Indonesia masih harus mengartikulasikan secara lebih jelas tujuan mereka
untuk mencapai sasaran yang diharapkan.
STATUS
HUKUM LSM/LPSM
Ada anggapan kuat di
luar Indonesia bahwa UU organisasi kemasyarakatan yang dikeluarkan 1985 akan
sangat memukul otonomi LSM/LPSM. Pengaturan yang dikenakan terhadap LSM sebelum
1985 ditujukan terhadap penyaluran dana asing dengan LSM lokal sebagai pihak
yang paling terpengaruh karena ketergantungan mereka pada bantuan asing
tersebut. UU Keormasan memungkinkan pemerintah untuk menindak keras
organisasi-organisasi yang aktivitasnya dinilai mengancam stabilitas dan
kesatuan nasional. Namun demikian, sejalan dengan masih kaburnya pola pertanggungjawaban,
LSM/LPSM tetap memiliki keleluasaan untuk memperoleh simpati dan perlindungan
dari dalam birokrasi, mengupayakan penataan adhoc
bersama pejabat lokal dengan formalitas hukum seminim mungkin.
OTONOMI
VS KOOPTASI : UPAYA PENCARIAN MODEL
Terdapat tiga jenis
umum pendekatan yang dilakukan berbagai LSM/LPSM dalam hal penjalinan hubungan
dengan pemerintah Indonesia :
1.
Pendekatan berlabel “Kerjasama Tingkat
Tinggi : Pembangunan Akar Rumput” menekankan kerjasama dalam program-program
pembangunan pemerintah dengan menyusupkan pengaruh terhadap rancangan maupun
implementasi program-program tersebut.
Contoh : Bina Swadaya dan Yayasan
Indonesia Sejahtera (YIS).
2.
Pendekatan sebagai “Politik Tingkat
Tinggi : Mobilisasi Akar Rumput” merupakan pengembangan gagasan berdasarkan
kerangka berpikir teori sosial secara radikal, yang digabung dengan kritik lebih luas terhadap falsafah dan
praktek orde baru.
Contoh : Lembaga Studi Pembangunan,
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), LP3ES, Wahana Lingkungan Hidup
Indonesia (WALHI), dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
3.
Pendekatan sebagai “Penguatan di
tingkat Akar Rumput” yang menekankan “peningkatan kesadaran” (consciousness raising) dan kesadaran
akan hak daripada upaya mengubah kebijaksanaan, sambil mengupayakan formasi
kelompok otonom tanpa pretense politis tertentu.
Contoh : Kelompok Studi Bantuan Hukum
(KSBH) dan Masyarakat pinggir kali Gondolayu di Yogyakarta.
Ketiga
model tersebut pada dasarnya membawa sejumlah orientasi ke arah “penguatan” (empowerment) kelompok-kelompok kecil
dalam arti mendorong kapasitas self-management dan melatih kader-kader dari
kelompok sasaran yang dibutuhkan untuk menjalani keahlian yang diisyaratkan. Tujuan
yang hendak dicapai mencakup : mengarahkan manfaat kebijaksanaan terutama
terhadap kelompok-kelompok yang tertinggal dan terbelakang, penyertaan
kelompok-kelompok masyarakat dalam program pemerintah, serta memberi ruang bagi
kelompok-kelompok kecil untuk merancang program sendiri.
JARINGAN
KERJA DAN PEMBENTUKAN KOALISI
Tujuan utama jaringan
kerja mencangkup pemberian fasilitas bagi pertukaran informasi, kooperasi dan
gerakan bersama; negosiasi dngan lembaga donor asing dan sebagai saluran untuk
penyebaran dana; serta mempertunjukkan kesatuan kekuatan pada saat berhadapan
dengan pemerintah. Motif lebih jauh adalah untuk mendahului kemungkinan
pembentukan organisasi-organisasi “payung” oleh pemerintah untuk mempersatukan
berbagai organisasi yang telah ada di bawah kekuatan “pengarah” yang terkandung
di dalam UU Keormasan. Untuk itu, LSM/LPSM telah membangun forum dan jaringan
tersendiri tanpa peraturan formal, walaupun usaha untuk membangun organisasi
nasional sejauh ini berakhir dengan kesia-siaan. Di pihak lain strategi seperti
itu dapat merintangi evolusi struktur demokratis di dalam komunitas LSM.
Kerjasama mereka dengan program- program pembangunan pemerintah sangat membantu
proses pengabsahan komunitas LSM yang lebih luas dimata pemerintah, namun telah
terbukti pula menjadi penyebab utama terkooptasinya mereka.
Sementara
gerakan LSM telah banyak menyumbang bagi penguatan proses demokratisasi di
Indonesia, perluasan masyarakat mereka tergantung pada pencapaian : sintesa
efektif antara corak gerakan “pembangunan” dan “mobilisasi”, interaksi antara
aktivitas ditingkat mikro dan makro, rekonsiliasi dari perbedaan, terutama
antara model LSM kedua dan ketiga, serta debirokratisasi yang lebih luas dari
hubungan LSM/LPSM serta memadukan gerakan kooperatif dengan otonomi kelompok
kecil. Pemahaman LSM terhadap peran Negara vis-à-vis
masyarakat sipil akan sangat menentukan cara mereka mengatasi rangkaian
masalah tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar