Yummy Cupcake

Sabtu, 07 September 2013

Resume Sosiologi Umum TPB : PERUBAHAN EKOLOGI PERTANIAN : DARI REVOLUSI HIJAU KE SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION

PERUBAHAN EKOLOGI PERTANIAN : 
DARI REVOLUSI HIJAU KE SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION
Oleh : Rina Mardiana dan Soeryo Adiwibowo

Intensifikasi dan Penyeragaman Sistem Pertanian
            Sejak 1960an kebijakan pertanian yang dilancarkan pemerintah lebih mengarah pada intensifikasi sistem pertanian pangan. Dalam hal ini, Revolusi Hijau adalah contoh kasus yang sering dibahas dan dikritik oleh banyak kalangan. Revolusi Hijau merupakan program yang mengintensifkan penggunaan bibit varietas unggul, pestisida dan pupuk kimia, serta jaringan irigasi. Pada tahun 1984 pemerintah mengumumkan bahwa Indonesia telah berhasil melakukan swasembada beras dan memperoleh penghargaan dari badan PBB untuk pangan dan pertanian (FAO). Ironisnya, berselang sepuluh tahun kemudian, Indonesia kembali menjadi negara pengimpor beras. Revolusi Hijau mampu mencapai tujuan makro, namun pada tingkat mikro telah menimbulkan berbagai masalah. Hal-hal ini pulalah yang menjadi indicator hingga akhirnya Revolusi Hijau dinyatakan gagal.
            Pola Revolusi Hijau juga terjadi di bidang perikanan, yakni Revolusi Biru. Ada dua hal penting berkaitan dengan intensifikasi dan monokultur budidaya ini. Pertamapenggunaan pestisida kimia secara terus menerus dalam jangka panjang dapat menimbulkan resistensi (kekebalan) dan resurjensi (kemunculan kembali) hama. Kedua, penggunaan satu varietas saja dalam satu sector pertanian membuat sistem pertanian rentan, karena bila terserang hama, maka seluruh ladang, sawah, tambak, dan kebun akan mengalami gagal panen.
            Hingga sekarang persoalan beras terus menyita perhatian, sehingga menyisihkan potensi sumber pangan yang lain. Hal ini menyiratkan bahwa salah satu faktor krisis pertanian adalah penyeragaman jenis pangan pokok di seluruh Indonesia, yaitu beras.

Sistem Pertanian Lokal Diabaikan
            Begitu banyaknya curahan perhatian, dana, upaya penelitian dan pengadaan sarana pertanian yang erserap untuk mensukseskan aneka revolusi monokultur, maka pemerintah dan lembaga penelitian mengabaikan kajian, pengembangan, dan perlindungan sistem pertanian dan pangan lokal. Kalaupun ada upaya kajian untuk pengembangan pangan lokal, biasanya tidak tersedia dana dan dukungan politik yang memadai untuk menerapkan hasil kajian tersebut. Dengan kata lain, sistem pertanian lokal tidak hanya diabaikan, tapi juga telah di singkirkan secara sistematik.

Konversi Lahan Subur
            Konversi lahan merupakan masalah yang mendasar. Setiap tahun konversi lahan pertanian subur diperkirakan mencapai 30 ribu ha pertahun (KLH 2002), dimana sebagian besar lahan yang di konversi tersebut merupakan lahan sawah yang beririgasi teknis dan sebagian besar berada di pulau Jawa. Di tengah kerugian tersebut pemerintah justru mencetak sawah baru diluar jawa dimana prasarana irigasi belum tersedia dengan baik dan areal tanah berada dalam tingkat kesuburan rendah. Perl disadari bahwa krisis pertanian dan pangan tidak bisa diatasi hanya dengan mencetak sawah, namun memerlukan kebijakan dan pelaksanaan perlindungan semua lahan produktif untuk pertanian diseluruh Indonesia. Moratorium (pengurangan) konversi lahan produktif adalah pilihan kebijakan yang lebih baik.

Mengabaikan Sosial-Ekonomi Petani
            Kenyataan menunjukkan bahwa pembangunan di bidang pertanian tidak mampu mengangkat kondisi sosial-ekonomi petani, terutama petani padi. Akibatnya citra petani sebagai golongan yang miskin, buta huruf, kumuh, dan tidak berkembang muncul sebagai resultante dari kegagalan pembangunan dalam mengangkat tinggi tingkat sosial-ekonomi masyarakat petani.

            Sebagai upaya untuk mendekatkan teknologi kepada petani, maka diperlukan pendekatan baru dan salah satunya adalah Sistem Intensifikasi Padi (System of Rice Intensification-SRI). Metode SRI (System of Rice Intensification) merupakan sebuah teknologi berkelanjutan yang menguntungkan petani karena memberikan hasil produksi lebih tinggi. Pada tahun 2004, semakin banyak petani kecil di Indonesia yang mulai menerapkan SRI, sebagai cara yang cukup revolusioner dalam bercocok tanam padi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

My Acta Diurna Copyright 2009 Sweet Cupcake Designed by Ipiet Templates Image by Tadpole's Notez