PERUBAHAN EKOLOGI PERTANIAN :
DARI
REVOLUSI HIJAU KE SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION
Oleh : Rina Mardiana dan Soeryo
Adiwibowo
Intensifikasi
dan Penyeragaman Sistem Pertanian
Sejak 1960an kebijakan pertanian
yang dilancarkan pemerintah lebih mengarah pada intensifikasi sistem pertanian
pangan. Dalam hal ini, Revolusi Hijau adalah contoh kasus yang sering dibahas
dan dikritik oleh banyak kalangan. Revolusi Hijau merupakan program yang
mengintensifkan penggunaan bibit varietas unggul, pestisida dan pupuk kimia,
serta jaringan irigasi. Pada tahun 1984 pemerintah mengumumkan bahwa Indonesia
telah berhasil melakukan swasembada beras dan memperoleh penghargaan dari badan
PBB untuk pangan dan pertanian (FAO). Ironisnya, berselang sepuluh tahun
kemudian, Indonesia kembali menjadi negara pengimpor beras. Revolusi Hijau
mampu mencapai tujuan makro, namun pada tingkat mikro telah menimbulkan
berbagai masalah. Hal-hal ini pulalah yang menjadi indicator hingga akhirnya
Revolusi Hijau dinyatakan gagal.
Pola Revolusi Hijau juga terjadi di
bidang perikanan, yakni Revolusi Biru. Ada dua hal penting berkaitan dengan
intensifikasi dan monokultur budidaya ini. Pertama, penggunaan pestisida
kimia secara terus menerus dalam jangka panjang dapat menimbulkan resistensi
(kekebalan) dan resurjensi (kemunculan kembali) hama. Kedua, penggunaan satu varietas saja dalam satu sector pertanian
membuat sistem pertanian rentan, karena bila terserang hama, maka seluruh
ladang, sawah, tambak, dan kebun akan mengalami gagal panen.
Hingga sekarang persoalan beras
terus menyita perhatian, sehingga menyisihkan potensi sumber pangan yang lain.
Hal ini menyiratkan bahwa salah satu faktor krisis pertanian adalah
penyeragaman jenis pangan pokok di seluruh Indonesia, yaitu beras.
Sistem
Pertanian Lokal Diabaikan
Begitu banyaknya
curahan perhatian, dana, upaya penelitian dan pengadaan sarana pertanian yang
erserap untuk mensukseskan aneka revolusi monokultur, maka pemerintah dan
lembaga penelitian mengabaikan kajian, pengembangan, dan perlindungan sistem
pertanian dan pangan lokal. Kalaupun ada upaya kajian untuk pengembangan pangan
lokal, biasanya tidak tersedia dana dan dukungan politik yang memadai untuk
menerapkan hasil kajian tersebut. Dengan kata lain, sistem pertanian lokal
tidak hanya diabaikan, tapi juga telah di singkirkan secara sistematik.
Konversi
Lahan Subur
Konversi lahan merupakan masalah
yang mendasar. Setiap tahun konversi lahan pertanian subur diperkirakan
mencapai 30 ribu ha pertahun (KLH 2002), dimana sebagian besar lahan yang di
konversi tersebut merupakan lahan sawah yang beririgasi teknis dan sebagian
besar berada di pulau Jawa. Di tengah kerugian tersebut pemerintah justru
mencetak sawah baru diluar jawa dimana prasarana irigasi belum tersedia dengan
baik dan areal tanah berada dalam tingkat kesuburan rendah. Perl disadari bahwa
krisis pertanian dan pangan tidak bisa diatasi hanya dengan mencetak sawah,
namun memerlukan kebijakan dan pelaksanaan perlindungan semua lahan produktif
untuk pertanian diseluruh Indonesia. Moratorium (pengurangan) konversi lahan
produktif adalah pilihan kebijakan yang lebih baik.
Mengabaikan
Sosial-Ekonomi Petani
Kenyataan menunjukkan bahwa
pembangunan di bidang pertanian tidak mampu mengangkat kondisi sosial-ekonomi
petani, terutama petani padi. Akibatnya citra petani sebagai golongan yang
miskin, buta huruf, kumuh, dan tidak berkembang muncul sebagai resultante dari
kegagalan pembangunan dalam mengangkat tinggi tingkat sosial-ekonomi masyarakat
petani.
Sebagai upaya untuk mendekatkan
teknologi kepada petani, maka diperlukan pendekatan baru dan salah satunya
adalah Sistem Intensifikasi Padi (System of Rice Intensification-SRI). Metode
SRI (System of Rice Intensification)
merupakan sebuah teknologi berkelanjutan yang menguntungkan petani karena
memberikan hasil produksi lebih tinggi. Pada tahun 2004, semakin banyak petani
kecil di Indonesia yang mulai menerapkan SRI, sebagai cara yang cukup
revolusioner dalam bercocok tanam padi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar