SALURAN
PEMERATAAN INFORMASI DI PEDESAAN : KORAN
MASUK
DESA ATAU JARINGAN KOMUNIKASI SOSIAL ?
Oleh : M. Alwi Dahlan
Saluran
informasi untuk masyarakat pedesaan sekarang bertambah sebuah lagi. Surat kabar
yang selama ini merupakan media yang terutama tertuju untuk daerah perkotaan,
akan mengembangkan sayapnya ke desa mulai tahun ini dengan Proyek Koran Masuk
Desa (KMD). Rencana ini sangat menarik jika diingat bahwa KMD bukanlah sarana
komunikasi yang pertama yang sengaja diarahkan untuk membawa informasi
pembangunan ke desa-desa. Sarana baru yang paling menonjol tentunya televisi;
dalam waktu relatif singkat medium ini telah menyebar ke seluruh pelosok berkat
SKSD Palapa dan pesawat TV umum, radio dan kaset pun tidak kalah cepat
pertumbuhannya. Di samping itu terdapat kegiatan-kegiatan informasi baru yang
diorganisir untuk mempercepat pengaruh komunikasi, termasuk pula adaptasi atau
pemanfaatan pranata-pranata tradisional. Demikian banyaknya saluran dan
kesempatan komunikasi ke desa, sehingga di sana-sini kedengaran bahwa desa
telah “kebanjiran informasi”.
PEMERATAAN
PERS
Banyak
yang ingin dicapai dan dijangkau oleh Koran Masuk Desa, tetapi konstelasi
komunikasi pedesaan secara keseluruhannya rupanya belum menjadi pertimbangan
yang mendalam. Jelas terlihat bahwa tujuan KMD yang utama adalah pengembangan industri
pers itu sendiri dan pemerataan yang dimaksud diarahkan pada kesempatan di
bidang tersebut. Sementara itu ada berbagai hambatan yang digolongkan kepada
masalah-masalah “pemerataan kemampuan”. Misalnya, sebagian biaya KMD mungkin
lebih mahal per unit koran dibanding dengan ongkos pers kota. Dengan demikian
harga KMD sampai di tempat tidak akan begitu murah menurut ukuran kantong desa.
Ada juga masalah kemampuan baca dan sementara itu tidak dapat dilupakan adanya
persaingan berat dari media lain yang telah masuk ke desa. Jika dihadapkan pada
pilihan antara media baca dengan televisi atau radio, maka orang akan cenderung
memilih media elektronik yang lebih mudah-apalagi kalau media mudah tersebut
juga murah, bahkan gratis.
SASARAN
MANA ?
Meskipun dihadapkan kepada segala
masalah ini, KMD sebenarnya tetap mempunyai prospek untuk berhasil sampai ke
tingkatan tertentu. Dari sudut lain, pengalaman juga menunjukkan bahwa usaha
penyebaran KMD belum tentu dapat mencapai hasil yang serupa di semua tempat.
Ini menunjukkan bahwa orientasi pemerataan secara geografis (perluasan wilayah)
saja tidak dengan sendirinya membawa penambahan penyebaran-apalagi pemeretaan
informasi yang didengung-dengungkan. Pemerataan informai mempunyai cakupan yang
lebih luas, sasaran yang jauh berbeda serta tujuan akhir yang lebih jauh dari
sekedar penyetoran fisik atau kuantatif. Sasaran ini lebih luas dari sasaran
khalayak KMD. KMD tertuju kepada orang yang banyak-sedikitnya telah mempunyai
kemampuan dasar, baik dalam arti kata ekonomi maupun dalam penyerapan informasi.
ELITE
INFORMASI
Perubahan terdahulu memberikan kesan
yang kuat bahwa kehidupan KMD akan berkisar terutama di seputar semacam “elite
informasi” desa, yaitu mereka yang mampu mempunyai akses terhadap KMD karena
kekuatan ekonomi atau status posisi yang mereka duduki. Kesan ini makin kuat
jika diingat bahwa sebagian dari elite ini bertindak pula sebagai “penguasa
informasi” yang menentukan ruang gerak dan kehidupan KMD. Dapat dikatakan bahwa
KMD memperkuat elite informasi, bahkan melahirkan elite penguasa informasi.
Terpusatnya peredaran KMD ke tangan segolongan masyarakat
tidak dengan sendirinya berarti tidak baik. Sebagai umumnya pendekatan
komunikasi pembangunan yang lainnya di Indonesia, KMD juga bertolak dari model
komunikasi dua langkah (two step flow) atau berlangkah ganda yang pada dasarnya
menyatakan bahwa arus informasi mengalir “dari media ke para pemuka pendapat
dan dari mereka itu ke bagian-bagian masyarakat yang kurang aktif”. Banyak
kasus yang menunjukkan bahwa elite menahan informasi yang relevan sampai kepadanya.
Malahan bimbingan dan penyuluhan pun banyak yang hanya berhenti sampai kepada
kalangan yang terbatas ini yang kehidupannya sudah baik juga seperti petani
kaya. Mereka yang tergolong benar-benar miskin kelihatannya sangat jarang
terjangkau. Lebih dari itu, informasi dan inovasi baru kadang-kadang
dipergunakan hanya untuk keuntungan sendiri dengan cara yang merugikan orang
lain, termasuk yang miskin. Masalah seperti ini adalah lazim dalam tata
penyaluran informasi. Sebagai akibatnya, selalu terdapat kecenderungan untuk
menahan dan mempergunakan informasi yang bernilai tinggi untuk kepentingan
sendiri.
ALTERNATIF
JALUR
Dari gambaran ini tampak bahwa
pemasukan informasi bagi elite tidak dapat dianggap sebagai pemerataan kepada
rakyat banyak. Disamping itu, jaringan sosial elite biasanya tidak sampai ke
bawah atau berbeda dengan jaringan di lapisan tersebut. Sebagai akibat dari
semua ini ketimpangan informasi (communication
effect gap) antara elite dengan golongan-golongan yang lebih miskin menjadi
lebih besar. Ketimpangan ini agaknya paling kentara pada golongan yang miskin
strukturalnya yang barangkali berada di bawah ”garis kemiskinan informasi”.
Persoalan menjadi kritis karena informasi yang langka bukan hanya informasi
yang telah “ditahan” oleh orang yang lebih mampu atau yang dapat meningkatkan
taraf hidupnya tetapi juga yang diperlukan untuk sekedar mempertahankan tingkat
yang ada. Karena itu pemecahan masalah betul-betul harus ditujukan ke
jaringan-jaringan lokal yang berbeda pula bentuknya dari tempat ke tempat.
Metodologi untuk menemukan jaringan-jaringan ini tersedia, tetapi usahanya
memerlukan ketekunan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar