Yummy Cupcake

Sabtu, 07 September 2013

Resume Sosiologi Umum TPB : REVOLUSI HIJAU DAN PERUBAHAN SOSIAL DI PEDESAAN JAWA

REVOLUSI HIJAU DAN PERUBAHAN SOSIAL DI PEDESAAN JAWA
 Oleh : Sediono M.P. Tjondronegoro

            Pelaksanaan Revolusi Hijau di negara berkembang, termasuk di Indonesia, dimulai sekitar tahun 1960 yang sejak awal tujuan program ini adalah untuk meningkatkan produksi tanaman padi yang untungnya juga peningkatan tersebut dapat diusahakan tanpa mengubah struktur sosial pedesaan. Setelah sekitar seperempat abad Revolusi Hijau berlangsung dan menghasilkan beberapa “keajaiban”, termasuk di Indonesia, maka kita sebagai bangsa merasa bahwa keswasembadaan beras yang kita capai pada tahun 1984 adalah hasil Revolusi Hijau.

SWA SEMBADA BERAS
Rencana untuk mencapai keswasembadaan beras pada dasarnya sudah lama dirumuskan oleh Departemen Perencanaan Nasional atau Deparnas dalam Rencana Pembangunan Semesta (1961-1969). Sasaran-sasaran Deparnas tersebut ternyata tidak berhasil dicapai, dan ini bisa dilihat bahwa dalam periode 1961-1964 lebih dari satu juta ton beras diimpor oleh pemerintah Indonesia.
Dalam Pelita I yang disusun dan dilaksanakan oleh pemerintah Orde Baru, pola dan pendekatan Bimbingan Massal (BIMAS) dengan cepat disebarluaskan dan dalam beberapa tahun ditingkatkan lagi dari 300.000 ha menjadi 1 juta hektar. Paket Bimas yang diberikan mencangkup kredit (natura pupuk buatan, obat-obatan, bibit unggul, dan biaya hidup petani (tunai) untuk semusim (Cost of living). Ternyata, petani golongan menengah dan petani kecil/miskin dengan luas tanah garapan 0,5 ha merasa, bahwa kredit yang ditawarkan, walaupun menarik juga, menimbulkan resiko yang relative besar. Bimas, yaitu :
1)      Petani penggarap 0,5 ha, enggan menerima.
2)      Petani penggarap 0,5-0,75 ha, penerima lamban
3)      Petani penggarap 0,75 ha, penerima baik.
Dengan demikian, petanian marginal dan kecil pada akhirnya juga terkena Bimas, walaupun sebetulnya mereka ikut tidak selalu dengan hati yang rela.

PELAPISAN SOSIAL
            Penelitian SAEI yang telah disebutkan, merupakan usaha dini untuk melihat perilaku lapisan-lapisan petani dalam era Revolusi Hijau. Lapisan teratas masyarakat petani mempunyai beberapa keuntungan, kecuali meningkatkan luas tanahnya dan menarik kredit lebih banyak, lapisan tersebut tetap memanfaatkan tenaga kerja yang cukup banyak tersedia. Lapisan atas juga bertambah mampu untuk mengadakan usaha-usaha yang berkaitan dengan ekonomi perkotaan, sehingga jenis-jenis pekerjaan diluar usaha tani lebih mudah dijangkau oleh petani kaya. Sementara itu, lapisan terbawah apabila sudah tidak dapat bercocok tanam sebagai buruh tani di desanya cenderung keluar dari masyarakat pedesaan dan pindah ke kota kecil sampai besar untuk mencari pekerjaan di sektor informal seperti jasa dan perdagangan kecil. Sejak awal abad ke-19 boleh dikatakan hubungan patron-klien didaerah pedesaan Jawa sangat meluas dan menjadi khas, akibat dari pertumbuhan penduduk yang cepat. Jadi, walaupun terdapat produksi pangan yang meningkat, namun pembagian keuntungannya jauh dari merata. Proses inilah yang tampaknya juga sedang berlangsung  di Indonesia setelah kita melaksanakan Revolusi Hijau mulai 1969.

MODERENISASI
            Dengan masuknya teknologi baru di bidang pertanian sudah jelas ada lapisan-lapisan masyarakat desa yang bertambah kaya dan berkuasa atas sumberdaya. Seuatu survey (WL. Collier dkk.,1978) meeliti kembali desa-desa yang pernah di survey dalam tahun 1970, mengungapkan bahwa panen (derep) yang dahulu dikerjakan 200-500 penderep wanita per hektar dengan sistem bawon, sekarang cukup menupah 10-20 orang pria saja untuk panen satu hektar dengan sabit.
            Singkatnya beberapa indikator yang dipakai untuk mengukur tingkat komersialisasi dalam studi tersebut adalah :
1)      Penggunaan tenaga dalam peroduksi padi
2)      Usaha mengurangi biata
3)      Panen terbuka/tertutup, yaitu dereo atau upah tebas
4)      Penjualan padi
5)      Upah buruh
            Persoalan yang mungkin juga tidak mengherankan adalah pola konsumsi daerah pdesaan yang semakin menyerupai kota dan ini dipercepat oleh komunikasi massa (khususnya radio dan TV) yang berfungsi sebagai iklan dan penyebaran gambaran pola hidup perkotaan. Perubahan-perubahan social yang terjadi, disamping akibat “Revolusi Hijau” , tampaknya juga ditunjang oleh “Revolusi Pendidikan”, “Revolusi Kesehatan”, dan “Revolusi Transport” hasil  dari pembangunan selama Pemerintah Orde Baru yang patut dibanggakan, dan menurut Sajogyo, ini menunjukkan adanya moderenisasi di daerah pedesaan Jawa.

KEADAAN 1980-AN
            Sumber terakhir yang kaya untuk melukiskan dalam garis besar keadaan pertanian negara kita, adalah Sensus Pertanian 1983 dan Biro Pusat Statistik (1987). Adapun publikasi tersebut mengenai bidang-bidang sebagai berikut :
1)      Profil Rumah Tangga Pertanian, Pola Pemilikan Tanah, dan Masalah Petani Berlahan Sempit.
2)      Penggunaan Tanah Pertanian, Masalah Pertanahan dan Kedudukan Petani.
3)      Aplikasi Teknologi Pertanian, Intensifikasi Tanaman pangan dan pola Usaha Tani.
4)      Pengelolaan Pasca Panen, Perkreditan dan KUD.

PENGGUNAAN TANAH
            Sejak tahun 1984, produksi padi Indonesia dari tahun ke tahun naik sampai sekitar  25 juta ton, namun tingkat keswasembadaan tersebut merupakan keberhasilan yang marginal karena pertama, penduduk masih bertambah dengan 2,1% setahun dan kedua,  luas  areal  tanam  belum  bertambah  luas  sebanding  dengan  pertumbuhan penduduk  tersebut, atau pola konsumsi beraspun masih belum banyak berubah. Pada tahun 1983 luas tanah pertanian di Indonesia berjumlah 14,5 juta ha (8% dari daratan Indonesia), dan tegalan merupakan penggunaan paling luas (39%). Jenis penggunaan terbesar kedua adalah perkebunan rakyat (21%) dan selanjutnya luas sawah tadah hujan (15%), sawah yang dapat ditanam dua kali se-tahun (14%) dan sawah satu kali setahun (6%). Di Jawa dewasa ini sudah pula dicoba perluasan perhutanan social (social foresty) oleh Perem Perhutani, sehingga wilayah hutan pun dapat ditumpangsarikan dengan tanaman pengan yang dapat dimanfaatkan oleh petani.

KESIMPULAN

            Dari penggalian sumber data terdahulu tampak beberapa kecenderungan di daerah pedesaan, akibat dari pembangunan sektor pertanian yang selama dua puluh tahun dipelopori oleh pemerintah. Intensifikasi pertanian pangan yang diacu sebagai Revolusi Hijau sejak awal memang ditekankan pada peningkatan produksi dengan mengantarkan teknologi yang lebih maju daripada yang di kenal di kalangan petani tradisional. Bila memang ini yang dimaksud sebagai tujuan pembanguna, maka model pembangunan yang diterapkan di daerah pedesaan Indonesia berhasil, tetapi bila semula pemerataan yang dituju dan lebih sukar dicapai tanpa adanya reforma agraria, maka kesimpulannya justru berlawanan. Untuk pemecahan tuntas andalan kita sekarang adalah sektor jasa, industri kecil dan kerajinan, paling tidak di daerah pedesaan, dan sementara perkembangan di sektor kota dapat turut menunjang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

My Acta Diurna Copyright 2009 Sweet Cupcake Designed by Ipiet Templates Image by Tadpole's Notez