SISTEM
BAGI HASIL DI JAWA TENGAH
Penelitian
Hukum Pemilikan Tanah di Sebuah Daerah
Pertanian
yang Penduduknya Sangat Padat
Oleh
: Warner Roell
Sistem bagi hasil (bagi garap)
mempunyai arti penting dalam pertanian di Indonesia. Meskipun mengolah sendiri
tanah pertanian diharuskan oleh Undang-Undang Agraria Tahun 1990, namun di Jawa
Tengah masih terdapat 24% pengolah tanah oleh orang lain. Keanekaragaman
hubungan penggarapan di pemukiman di Jawa, dengan sistem bagi hasil
(penggarapan) merupakan elemen penting dalam ekonomi pertanian di Jawa Tengah.
Studi
perbandingan dilakukan di Desa Sukohardjo di dekatnya. Sistem bagi hasil yang
berlaku disana dan masalah yang muncul dari sistem ini disebabkan oleh makin
buruknya struktur sosio-ekonomi, usaha transmigrasi yang dihambat oleh masalah
keuangan, teknik-organisasi dan sosial-psikologi, yang mengakibatkan
perkembangan kepadatan penduduk sangat tinggi serta kesempatan kerja di sektor
industri yang sedikit dan makin berkurang dikarenakan penghancuran beberapa
usaha perkebunan Belanda pada masa pendudukan Jepang. Sistem bagi garap yang
menyebar luas merupakan pencerminan kekurangan tanah yang bisa terlihat jelas
dan tidak adanya peluang pekerjaan alternatif. Si penggarap terutama dari
kelompok sosial pedesaan bawah, terdiri dari (Pe)tani setengah kenceng,
(Pe)tani ngidung, (Pe)tani temple, dan (Pe)tani tlosor. Mereka kebanyakan
memiliki pondok sederhana dari bambu dengan pekarangan kecil dan hanya memiliki
peralatan sederhana seperti cangkul, bajak kayu, terkecuali tenaga kerjanya.
Kerbau untuk membajak yang merupakan ciri utama dari kekayaan, umumya tidak
mereka miliki.
BENTUK-BENTUK
DASAR BAGI HASIL
Yang
paling sering digunakan dalam daerah penelitian adalah bentuk-bentuk dasar bagi
hasil sebagai berikut :
1. Sistem
maro (garap separuh, bagi separuh)
2. Sistem
mertelu (bagi tiga garapan, bagi tiga hasil )
3. Sistem
mrapat (bagi empat garapan, bagi empat hasil)
Situasi
sosial ekonomi penggarap yang sudah sulit semakin diperburuk terutama dengan
penyediaan sromo. Ini adalah pembayaran tambahan uang oleh penggarap
kepada pemilik tanah sebelum memulai penggarapan. Tingginya sromo dihitung
berdasarkan kualitas tanah, masa penggarapan, situasi pasar, gerak harga dan
sebagainya. Secara resmi pembayaran-pembayaran tambahan demikian dilarang dalam Undang-Undang sistem penggarapan
tahun 1960. Akibat kelemahan struktur sosio-ekonomi dan kuatnya posisi pemilik
meskipun lahan pertaniannya relatif kecil, menyebabkan pemilik tetap bisa
menerima imbalan tambahan tersebut. Di samping itu pengambilan kredit untuk
tujuan yang murni konsumtif, menyebabkan penggarap terjerat hutang.
Kesepakatan
yang dikenal di daerah persawahan di Asia Tenggara menyebabkan dilakukan
praktek transaksi tebasan dan ijon yang sebenarnya dilarang. Hal ini mencangkup
pengurangan bagian hasil sebelum panen oleh si penghutang kepada si pemberi
kredit dengan persyaratan yang umumya jauh lebih baik buruk dibandingkan pada penjualan bebas. Dengan jenis peminjaman
ini jarang yang bersangkutan kehilangan sebagian besar produk hasilnya, namun
diperburuk dengan beban hutang dan semakin kuatnya keterikatan pada pemberi
pinjaman yang mengawasi bagian panen yang tidak kecil. Sifat parasit sebagian
dari sistem bagi hasil memperlihatkan adanya kelompok yang kegiatannya sebagian
besar hanya didasarkan pada pertimbangan keuntungan semata.
Demi
perbaikan kepentingan sosial yang dibutuhkan, maka harus dilakukan penghapusan
situasi buruk sistem bagi hasil di Jawa. Pertumbuhan penduduk yang pesat,
pembagian tanah yang tidak seimbang, pengambilan panen yang berlebihan,
pembentukan modal yang terus menerus tidak tercapai, tidak adanya cadangan
tanah, mobilitas tanah yang rendah dan sebagainya, menghalangi peningkatan ekonomi dan sosial
para penggarap sekaligus merugikan dalam hukum pertanian di Jawa.
Usaha-usaha pembangunan ekonomi yang semakin meningkat dari
tahun-tahun terakhir dirancang serasi dalam bidang pertanian, bidang politik
kependudukan, usaha industrial dan infrastruktur terus diupayakan. Sejak tahun
1965 masalah sistem bagi hasil yang peka bahkan tabu dalam perdebatan politik,
karena dipergunakan sebagai alat agitasi politik oleh partai komunis dimasa
lampau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar