Yummy Cupcake

Kamis, 18 Oktober 2012

Resume Sosiologi Umum TPB : SISTEM BAGI HASIL DI JAWA TENGAH "Penelitian Hukum Pemilikan Tanah di Sebuah Daerah Pertanian yang Penduduknya Sangat Padat"


SISTEM BAGI HASIL DI JAWA TENGAH
Penelitian Hukum Pemilikan Tanah di Sebuah Daerah 
Pertanian yang Penduduknya Sangat Padat
Oleh : Warner Roell

            Sistem bagi hasil (bagi garap) mempunyai arti penting dalam pertanian di Indonesia. Meskipun mengolah sendiri tanah pertanian diharuskan oleh Undang-Undang Agraria Tahun 1990, namun di Jawa Tengah masih terdapat 24% pengolah tanah oleh orang lain. Keanekaragaman hubungan penggarapan di pemukiman di Jawa, dengan sistem bagi hasil (penggarapan) merupakan elemen penting dalam ekonomi pertanian di Jawa Tengah.
Studi perbandingan dilakukan di Desa Sukohardjo di dekatnya. Sistem bagi hasil yang berlaku disana dan masalah yang muncul dari sistem ini disebabkan oleh makin buruknya struktur sosio-ekonomi, usaha transmigrasi yang dihambat oleh masalah keuangan, teknik-organisasi dan sosial-psikologi, yang mengakibatkan perkembangan kepadatan penduduk sangat tinggi serta kesempatan kerja di sektor industri yang sedikit dan makin berkurang dikarenakan penghancuran beberapa usaha perkebunan Belanda pada masa pendudukan Jepang. Sistem bagi garap yang menyebar luas merupakan pencerminan kekurangan tanah yang bisa terlihat jelas dan tidak adanya peluang pekerjaan alternatif. Si penggarap terutama dari kelompok sosial pedesaan bawah, terdiri dari (Pe)tani setengah kenceng, (Pe)tani ngidung, (Pe)tani temple, dan (Pe)tani tlosor. Mereka kebanyakan memiliki pondok sederhana dari bambu dengan pekarangan kecil dan hanya memiliki peralatan sederhana seperti cangkul, bajak kayu, terkecuali tenaga kerjanya. Kerbau untuk membajak yang merupakan ciri utama dari kekayaan, umumya tidak mereka miliki.

BENTUK-BENTUK DASAR BAGI HASIL
            Yang paling sering digunakan dalam daerah penelitian adalah bentuk-bentuk dasar bagi hasil sebagai berikut :
1.      Sistem maro (garap separuh, bagi separuh)
2.      Sistem mertelu (bagi tiga garapan, bagi tiga hasil )
3.      Sistem mrapat (bagi empat garapan, bagi empat hasil)

Situasi sosial ekonomi penggarap yang sudah sulit semakin diperburuk terutama dengan penyediaan sromo. Ini adalah pembayaran tambahan uang oleh penggarap kepada pemilik tanah sebelum memulai penggarapan. Tingginya sromo dihitung berdasarkan kualitas tanah, masa penggarapan, situasi pasar, gerak harga dan sebagainya. Secara resmi pembayaran-pembayaran tambahan demikian dilarang dalam Undang-Undang sistem penggarapan tahun 1960. Akibat kelemahan struktur sosio-ekonomi dan kuatnya posisi pemilik meskipun lahan pertaniannya relatif kecil, menyebabkan pemilik tetap bisa menerima imbalan tambahan tersebut. Di samping itu pengambilan kredit untuk tujuan yang murni konsumtif, menyebabkan penggarap terjerat hutang.
Kesepakatan yang dikenal di daerah persawahan di Asia Tenggara menyebabkan dilakukan praktek transaksi tebasan dan ijon yang sebenarnya dilarang. Hal ini mencangkup pengurangan bagian hasil sebelum panen oleh si penghutang kepada si pemberi kredit dengan persyaratan yang umumya jauh lebih baik buruk dibandingkan  pada penjualan bebas. Dengan jenis peminjaman ini jarang yang bersangkutan kehilangan sebagian besar produk hasilnya, namun diperburuk dengan beban hutang dan semakin kuatnya keterikatan pada pemberi pinjaman yang mengawasi bagian panen yang tidak kecil. Sifat parasit sebagian dari sistem bagi hasil memperlihatkan adanya kelompok yang kegiatannya sebagian besar hanya didasarkan pada pertimbangan keuntungan semata.
Demi perbaikan kepentingan sosial yang dibutuhkan, maka harus dilakukan penghapusan situasi buruk sistem bagi hasil di Jawa. Pertumbuhan penduduk yang pesat, pembagian tanah yang tidak seimbang, pengambilan panen yang berlebihan, pembentukan modal yang terus menerus tidak tercapai, tidak adanya cadangan tanah, mobilitas tanah yang rendah dan sebagainya,  menghalangi peningkatan ekonomi dan sosial para penggarap sekaligus merugikan dalam hukum pertanian di Jawa.
Usaha-usaha pembangunan  ekonomi yang semakin meningkat dari tahun-tahun terakhir dirancang serasi dalam bidang pertanian, bidang politik kependudukan, usaha industrial dan infrastruktur terus diupayakan. Sejak tahun 1965 masalah sistem bagi hasil yang peka bahkan tabu dalam perdebatan politik, karena dipergunakan sebagai alat agitasi politik oleh partai komunis dimasa lampau.

Resume Sosiologi Umum TPB : MODEL KELEMBAGAAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI


MODEL KELEMBAGAAN MASYARAKAT
DALAM PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI
Oleh : Djuhendi Tadjudin

            Dalam era globalisasi ini, pola pengelolaan sektor-sektor lain cendrung mengglobal, sebaliknya pengelolaan sumber daya hutan kian melokal.

·      SITUASI PENGELOLAAN SAAT INI
Kartodiharjo (1999) menggambarkan, bahwa kebijakan pengelolaan sumberdaya  hutan saat ini bersifat paradoksal. Sementara itu, instrumen untuk memelihara kelestarian lingkungan tidak berjalan dengan efektif. Kartodiharjo mengusulkan agar segera dilakukan penilaian ulang terhadap arah dan muatan   kebijakan yang ada dengan  memperhatikan sumber paradoks, yaitu menyehatkan prakondisi agar asumsi-asumsi dalam ekonomi dapat dipenuhi dengan baik, memberikan penghargaan yang tinggi terhadap modal alam, memberikan penghargaan yang tinggi terhadap modal sosial, menghentikan pengkambing-hitaman keampuan organisasi sebagai pangkal kerusakan hutan, memberikan dukungan yang nyata terhadap kebijakan pelestarian hutan.

·      SANGKETA PENGELOLAAN
            Persengketaan yang terkait dengan masalah hutan alam produksi dipandang dalam garis hirarki yang linier, yaitu tata nilai, hak pemilikan (kelembagaan : institusi), dan model pengelolaan (organisasi) dengan pelaku sekurang-kurangnya terdiri dari pemerintah, masyarakat, dan swasta.

·      HUTAN KEMASYARAKATAN : TAWARAN PEMERINTAH
            HKM merupakan perwujudan berbagai bentuk pengelolan hutan yang mengakomodasi kepentingan dan partisipasi masyarakat secara luas. Namun Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 667/1998 tentang “Hutan Kemasyarakatan” (SKM) yang diundangkan pada tanggal 7 Oktober 1998 mengandung banyak hal yang memberatkan seperti makna masyarakat setempat, hak masyarakat lokal adalah “hadiah”, batas yurisdiksi, koperasi, sentarlisme, identitas masyarakat = persepsi pemerintah, going concern principle (kelanggengan usaha), dan masyarakat sebagai pengusaha.

·      TUJUAN PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI
            Tujuan-tujuan efisiensi, penciptaan keadilan dan kepatutan, keberlanjutan, dan pemeliharaan keanekaragaman sumberdaya merupakan tujuan normatif yang berlaku umum.

·      UNSUR KELEMBAGAAN
            Pola pengelolaan sumberdaya hutan alam produksi oleh masyarakat harus mempertimbangkan unsure-unsur kelembagaan seperti batas yuridiksi, aturan main, dan aturan perwakilan yang rasional.

·      MODEL KELEMBAGAAN
            Masyarakat berhak menentukan modal pendayagunaan sesuai dengan kelembagaan pengelolaan hutan alam produksi yang dibangun di atas fondasi karakteristik sumberdaya hutan yang dikelola dan karakteristik masyarakat pengguna serta masyarakat di sekitarnya.Dalam manajemen kolaboratif, masyarakat bertindak sebagai pelaku yang mendayagunakan sekaligus memelihara, sedangkan pemerintah yang memfasilitasi.

Resume Sosiologi Umum TPB : OMPU MONANG NAPITUPULU INGIN SEDERHANAKAN BUDAYA BATAK


OMPU MONANG NAPITUPULU INGIN SEDERHANAKAN BUDAYA BATAK
Oleh : Arbain Rambey

            Dalam seminggu terakhir ini, pembaca surat kabar di Medan seakan dibombardir dengan iklan – iklan yang mengajak agar masyarakat Batak Toba di mana pun berada untuk mengusir perusahaan yang merusak lingkungan Bona Pasogit. Lingkungan Bona Pasogit adalah bahasa sub-etnik Batak Toba untuk menyebut daerah tempat tinggal mereka di Sumatera Utara, tepatnya di sekitar Danau Toba.
Pemasang iklan itu adalah Parbato atau Pertungkoan Batak Toba, sebuah organisasi kesukuan yang berdiri pada bulan agustus 1997. Ompu Monang Napitupulu, ketua Parbato sejak 1997 dengan berapi-api memaparkan pentingnya tiap etnis di Indonesia punya kesadaran diri untuk menggalang solidaritas kecil yang akhirnya berguna untuk solidaritas Indonesia secara keseluruhan.
Batak Toba sendiri adalah satu buah sub-etnis dari suku Batak yang  memiliki streotipe umum orang Batak seperti ceplas-ceplos, berwatak keras, senang menyanyi dan berwajah khas dengan dagu persegi.
Watak keras tampak jelas pada Ompu Monang. Namun dibalik kekerasan sikapnya itu Ompu Monang yang memiliki nama asli Daniel Napitulu menyimpan banyak “kehangatan” khas Batak. Bahkan, nama Ompu Napitupulu yang diambil setelah kelahiran cucu pertamanya, menunjukkan kehangatan kekerabatan dalam budaya Batak Toba yang juga terlihat di upacara perkawinan Batak Toba.
Dari satu sisi, kekerabatan ini membawa arus positif. Rasa tanggung jawab pada pendidikan dan perawatan seorang anak bisa melebar pada paman-pamannya. Sedangkan sisi negatifnya adalah penghamburan uang dan waktu. Hal ini terlihat pada lamanya acara keluarga yang sangat bertele-tele di sebuah pesta Batak, pengulosan dan pemberian nasehat kepada mempelai di upacara perkawinan,  serta pembangunan makam-makam Batak Toba yang nilainya sampai ratusan juta rupiah per makamnya.
Untuk mengatasi penyelewengan adat Batak Toba, sudah beberapa kali Parbato menyelenggarakan seminar. Namun hasil seminar masih terbatas dan belum ada tindakan nyata untuk mengatasi keborosan adat. Untuk mengatasi kebuntuan itu, pada acara perkawinan anak perempuannya, Ompu Monang melaksanakannya dengan efisien namun tidak keluar dari adat Batak Toba. Salah satunya dengan membatasi ulos yang diberikan dan tidak adanya pemberian nasehat dari banyak orang. Ompu Monang berharap contoh itu bisa menjadi  pemutus penyelewengan adat yang boros karena menurutnya perbuatan nyata adalah nasehat terbaik.

Resume Sosiologi Umum TPB : KEHIDUPAN SUKU DAYAK KENYAH DAN MODANG DEWASA INI


KEHIDUPAN SUKU DAYAK KENYAH DAN MODANG DEWASA INI
Inventarisasi Sebuah Proses Pemiskinan
Oleh : Franky Raden

            Daerah pemukiman suku Dayak Kenyah dan Modang berada di wilayah Kecamatan Ancalong, Kabupaten Kutai, Tenggarong. Daerah ini adalah daerah terisolir yang dulunya hidup dalam keutuhan bentuk kebudayaan dan sistem yang asli. Namun, setelah masuk misionaris Belanda yang membawa agama Kristiani ke daerah ini tahun ’30-an mulai timbul bermacam-macam persoalan baru dalam tubuh masyarakat mereka. Akumulasi dari konflik ini membawa efek ke jurang perpecahan yang tragis antar anak-anak suku bahkan antar keluarga sendiri yang masih satu darah.
keturunan. Ini adalah awal dari proses pemiskinan yang menggerogoti setiap sisi kehidupan mereka.
Didaerah yang sekarang ini mayoritas perkampungan sepanjang Sungai Kelinjau adalah suku Dayak Kenyah dan Modang ini, menyelip beberapa suku lain. Dengan jumlah yang sedikit, pendatang-pendatang ini ternyata bisa menguasai arus perekonomian suku Dayak.
            Dilihat sepintas lalu kehidupan mereka sehari-hari kelihatan berkecukupan, namun dibalik itu kenyataannya tidak demikian. Kondisi perekonomian akhirnya merupakan salah satu faktor yang paling kuat dalam mengakibatkan kegoncangan dan memojokkan kehidupan orang-orang Dayak. Dalam kondisi yang demikian, kebudayaan dan kesenian mereka pun tidak lolos dari distrosi yang luar biasa. Terciptanya kondisi-kondisi demikian dalam segala isi kehidupan suku Dayak tidak dapat dilepaskan dari penanganan dan tanggung jawab pemerintah. Namun, hampir semua usaha penguluran tangan pemerintah nyaris hanya menjebak mereka ke dalam masalah-masalah kehidupan yang lebih rumit dan sukar untuk mereka atasi.
            Faktor terjahat yang menimpali kegoncangan dalam kehidupan masyarakat Dayak adalah munculnya penguasa-penguasa hutan yang  mendadak mengunci hutan untuk daerah perladangan, tempat sumber kehidupan mereka. Ini membuat mereka saat ini pontang-panting berusaha mencari alternatif hidup lain.
Tanggalnya sebuah roda kehidupan yang menggerakan seluruh sistem nilai mereka, merupakan titik awal dari munculnya khoas yang memproses masyarakat mereka makin tenggelam, makin miskin, bukan hanya dari material tetapi juga spiritual. Dari sini jelas bahwa proses pemiskinan yang mereka alami adalah proses pemiskinan nilai secara keseluruhan di tiap sisi kehidupan, bukan hanya masalah kemiskinan yang umumnya didentifisir dari satu sektor kehidupan belaka yaitu ekonomi. Namun, secara ekstrim dapat dikatakan bahwa yang terjadi pada suku Dayak saat ini tidak lain dari sebuah proses pemusnahan eksistensi sekelompok manusia dalam dimensi masalah kultural.
Sekarang  menjadi  jelas bahwa masalah kemiskinan di negeri kita bukan hanya masalah bagaimana manusia Indonesia dapat hidup  layak  dari  kriteria  tingkat kehidupan ekonomi mereka belaka. Yang lebih mendasar adalah bagaimana menghormati dan memberi hak hidup mereka di atas nilai kultur tradisi sendiri.
Peletakan masalah untuk apa yang terjadi pada masyarakat seperti suku Dayak ini adalah bagaimana sekelompok manusia dapat hidup mandiri di dalam ruang gerak kultur tradisi mereka sendiri. Hikmah dan kesadaran akan dimensi nilai ini harus diambil untuk membangun strategi politik bangsa kita di muka dunia, di mana wajah poli-kultur Indonesia dapat mencuatkan ketegaran suatu sosok nilai. Masalah yang dihadapi suku Dayak ini sebenarnya adalah miniatur masalah yang terjadi di Indonesia, di mana masuknya sistem nilai kebudayaan barat ini yang tiba-tiba memaksa kesadaran kita untuk melihat fenomena kehidupan bangsa Indonesia dalam konteks masalah kemiskinan yang diidentifisir melalui kriteria tingkat kehidupan ekonomi yang berlaku di sana.
Terciptanya semua masalah itu, baik yang terjadi secara mikro di desa-desa maupun yang terjadi secara makro di negara ini membuktikan bahwa masyarakat kita, baik yang tinggal di desa ataupun di kota, baik orang-orang yang biasa maupun kaum intelektual sebenarnya masih berada dalam kondisi yang arkhanis, tidak ada yang superior antara satu dengan yang lainnya. Sekarang masalahnya adalah bagaimana membawa dan memanfaatkan semua posisi yang aktif dan memiliki otoritas untuk kepentingan Negara dan 140 juta manusia, Indonesia.

Resume Sosiologi Umum TPB : TOLONG BANTU PERBAIKI PERTANIAN KAMI


TOLONG BANTU PERBAIKI PERTANIAN KAMI
Oleh : Muhammad Syaifullah

Beberapa tokoh masyarakat di Kondolo wilayah Tanjung Limau melakukan pertemuan dengan beberapa jagawana yang dipimpin oleh Ade Suharso. Pertemuan ini terkait permasalahan yang terjadi akibat masyarakat yang terus menerus menebangi pohon di hutan.
Menurut Ade Suharso, ketegangan yang terjadi antara petugas dilapangan dengan masyarakat karena putusnya komunikasi kedua belah pihak. Sebab, kemiskinan yang mereka alami selama ini karena pemerintah daerah sendiri minim memperhatikan mereka. Namun asumsi itu ternyata salah, karena sekarang justru masyarakat yang ada di dalam kawasan sulit dikendalikan, bahkan orang luar pun sudah banyak masuk. Diperkirakan, maraknya aksi pengambilan lahan ini bersamaan dengan dengan adanya proyek pengaspalan jalan dan pemasangan tiang listrik.
Sasaran kelompok masyarakat ini adalah untuk mendapat ganti rugi. Disamping itu, ada beberapa kelompok masyarakat pendatang yang memang ingin membeli lahan di kawasan itu. Sedangkan masyarakat yang bermukim didalamnya, selain tetap mempertahankan lahannya, juga ikut membuka lahan hutan.
Menurut Direktur Yayasan Bina Kelola Lingkungan ( BIKAL ), persoalan TN Kutai tidak bisa dilihat secara parsial. Kondisi yang terjadi sekarang sebagai akumulasi persoalan sejak awal kawasan ini ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Beban terbesar yang diterima TN Kutai sejak awal, yakni tidak adanya singkronisasi kebijakan soal hutan ini antara pemerintah pusat, Pemda Kaltim dan Pemda Kutai.
Akibatnya, sampai kini tidak ada batas yang jelas wilayah-wilayah desa mereka dan kawasan TN Kutai sendiri. Keadaan ini membuat hubungan antara jagawana dengan warga menjadi ada jarak, bahkan tidak jarang saling terjadi berbenturan kepentingan.

Resume Sosiologi Umum TPB : STRUKTUR INTERAKSI KELOMPOK ELIT DALAM PEMBANGUNAN "Penilitian di Tiga Desa Santri"


STRUKTUR INTERAKSI KELOMPOK ELIT DALAM PEMBANGUNAN
Penelitian di Tiga Desa Santri
Oleh : Sunyoto Usman

            Dalam percakapan sehari – hari istilah elit sering berkonotasi negatif. Tetapi dalam sosiologi, konsep tentang elit sebenarnya tidak seburuk itu. Elit biasanya didefinisikan sebagai suatu kelompok kecil  dalam masyarakat yang tergolong disegani, dihormati, kaya serta berkuasa. Mereka adalah kelompok minoritas superior yang posisinya berada pada puncak strata, memiliki kemampuan mengendalikan aktifitas perekonomian dan sangat dominan mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Sedangkan kelompok mayoritas yang dikuasai dan didominasi oleh elit disebut massa. Mereka adalah mayoritas inferior, yang posisinya dalam stratifikasi masyarakat berada dibawah, tidak memiliki kemampuan mengendalikan kegiatan ekonomi dan politik, serta kurang begitu diperhitungkan dalam poses pengambilan keputusan.
            Kelahiran kelompok elit dalam masyarakat terbagi menjadi dua pendapat, yaitu pendapat pertama adalah yang percaya bahwa kelompok elit lahir dari proses yang alami. Mereka memiliki kapasitas personal yang lebih potensial dari pada massa.
Pendapat kedua adalah yang percaya bahwa kelompok elit lahir akibat dari kompleksitas organisasi sosial, terutama dalam menjawab tantangan heterogenitas masalah ekonomi dan politik.
Di pedesaan, jumlah anggota kelompok elit biasanya tidak banyak. Mereka adalah anggota masyarakat yang mempunyi jabatan formal dalam pemerintah desa     ( pamong desa ) pengurus lembaga sosial pedesaan, petani kaya, guru desa, atau para pegawai negeri yang tempat bekerjanya ugkin dikota atau didesa yang lain. Kelompok elit boleh jadi juga diisi oleh informal leaders yakni individu-individu yang banyak didengar pendapatnya oleh masyarakat dan diikuti petunjuknya meskipun mereka tidak mempunyai jabatan formal, baik dalam pemerintah maupun dalam lembaga sosial pedesaan.

RUANG LINGKUP
Fenomena desa santri dalam studi masalah pembangunan dan struktur interaksi kelompok elit tampil menjadi episode penelitian yang menarik karena didesa lazimnya masih ada dominasi tokoh figur tokoh agama. Meskipun legitimasi kepemimpinan mereka pada awalnya berkaitan dengan aktivitas keagamaan, namun pada perkembangannya mereka kelihatan mapan berperan dalam urusan yang berkaitan dengan politik.
Sementara itu perencanaan, organisasi, pengawasan serta alokasi dana pembangunan pedesaan kita masih lebih banyak ditentukan atau dicantumkan oleh pemerintah pusat. Dalam suasana semacam itulah kelompok elit lalu banyak terlibat dalam proses pembuatan keputusan penting bagi upaya memperoleh hasil yang maksimal.

PENDEKATAAN
Ada tiga macam pendekataan yang lazim digunakan oleh peneliti sosial utuk mengidentifikasi kelompok elit yaitu :
1.    Positional approach ( mencari individu yang menempati posisi penting dalam lembaga sosial ).
2.    Reputational approach ( mencari wawancara mendalam dengan informan kunci uantuk mengklasifikasikan tokoh yang menjadi panutan masyarakat ).
3.    Decisional approach ( melihat penampilan nyata tokoh masyarakat dalam proses pengambilan keputusan ).
Sedangkan kedudukan elit dalam jaringan dapat dikategorikan menjadi empat macam, yaitu the liaison ( elit yang menghubungkan dua klik atau lebih ), the bridge   ( elit anggota satu klik yang menghubungkan kliknya dengan klik lain ), the ember      ( elit yang dalam jaringannya hanya menjadi anggota saja dan tidak memiliki peranan, the isolated ( elit yang tidak berhubungan  dengan elit lain atau terisolir ).

BEBERAPA INFORMASI
Sejumlah informasi penting yang didapatkan oleh pembaca perhitungan data adalah sebagai berikut:
1.      Dalam kegiataan yang berkaitan dengan implementasi pembangunan pedesaan, hampir semua anggota kelompok elit saling berinteraksi membentuk jaringan sosiometris
2.      Derajat intergrasi elit pada jaringan interaksinya cukup bervariasi. Semakin banyak jumlah hubungan tidak langsung yang dimiliki oleh seorang elit semakin tinggi pula derajat intergrasi elit itu dengan kawan interaksinya         ( contactees ).
3.      Jumlah klik dimasing-masing desa terpilih sebagai lokasi penelitian ini juga berbeda-beda.
4.      Kategori peranan elit dalam jaringan juga bervariasi. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa kelompok elit pamong desa dan petani kaya mempunyai peranan dalam jaringan lebih banyak dibandingkan dengan anggota kelompok elit pemuka agama.

CATATAN AKHIR
Kelompok elit pamong desa boleh jadi masih mampu mengantisipasi tuntuntan yang muncul dalam masyarakat dan melerai konflik yang terjadi. Tetapi interaksi antar mereka elit desa perlu diubah dari yang biasanya hanya dilakukan utuk menjawab kepentingan masing-masing ( exchange relationships ) kearah hubungan yang koordinatif ( coordinative relationships ) yang lebih dilandasi keinginan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat desa.

Resume Sosiologi Umum TPB : “ DRUG TRAFFICKER ” DARI CIANJUR

 “ DRUG TRAFFICKER ” DARI CIANJUR
Oleh : Irfan Budiman, Rian Suryalibrata, dan Upik Supriyatun

            Vonis mati diketuk oleh majelis hakim Asep Iwan Iriawan di Pengadilan Negeri Tanggerang kepada tiga terdakwa pengekspor – impor narkotik. Mereka adalah Merika Franola alias Ola dan dua orang sepupunya Rani Andriani dan Deni Setia Maharwan. Ola memang terlihat lebih tegar, namun Rani yang masih sepupu Ola merasa sulit melupakan vonis mati karena dia menganggap dirinya hanya seorang kurir namun terlalu berat mendapat hukuman.
Jalan hidup Ola memang berliku. Setamat SMA, Ola merantau ke Jakarta dan menjadi disc jocker. Dari pekerjaan itu, Ola beroleh anak yang bernama Eka Prawira, hasil hubungan intimnya dengan seorang pria. Untuk menghidupi anaknya, Ola bekerja sebagai DJ di berbagai diskotik. Pada Oktober 1997, Ola bertemu dengan Tajudin alias Tony, pria asal Nigeria yang mengaku berbisnis pakaian jadi.
Sejak pertemuan itu, hubungan Ola dan Tony kian lekat dan berpacaran. Mereka bahkan tinggal bersama dan Ola pun hamil. Akhirnya mereka mengikat tali perkawinan di rumah orang tua Ola. Pada awal perkawinan, kehidupan mereka sangat bahagia. Namun kebahagiaan itu hanya sekejab. Karena perangai asli Tony yang ringan tangan mulai muncul. Ironisnya, Ola sering mejadi sasaran kemarahannya. Bersamaan dengan itu, Ola mulai mengetahui sosok Tony yang sebenarnya. Ternyata bisnis pakaian jadi hanya kedok untuk mengambil hati Ola.
Menjelang kelahiran anak pertama mereka, Tony kembali ke bisnis asalnya : narkotik. Nahasnya, Tony mengajak serta Ola. Karena takut atas siksaan suaminya, Ola pun melakoni bisnis itu dengan terpaksa. Namun, posisi Ola berangsur –angsur meningkat. Ola bukan hanya menjadi kurir, tapi menjadi drug trafficker dengan penghasilan US$ 200 untuk setiap kali mengirim kurir ke luar negeri.
Setelah itu, kehidupan Ola dan Tony pun melonjak. Beberapa kerabat yang kesulitan meminta bantuan kepada Ola, diantaranya Rani yang pernah bekerja sebagai pelayan sebuah restoran, meminjam 5 juta untuk melunasi hutangnya ke sebuah bank, dan Deni, pria yang sempat menjadi lurah di Cianjur yang dipinjami Tony uang sebesar 20 juta. Disinilah awal keterlibatan mereka menjadi kurir narkotik.
Meskipun demikian, mereka mengaku tidak sadar bila mereka di manfaatkan sebagai kurir narkotik, kalau mereka mangkir sewaktu bertugas sebagai kurir maka Ola lah yang menjadi sasaran kemarahan Tony. Disinyalir, Tony adalah anggota komplotan sindikat narkotik internasional, juga sebagai koordinator bagi sebagian warga Nigeria yang menjadi pengedar narkotik di Indonesia.
Bukan pekerjaan gampang untuk mengungkap jaringan narkotik Tony. Organisasinya rapi dan selalu lolos dari pengusutan petugas. 12 Januari 2003, Ola dan kedua sepupunya akhirnya berhasil diringkus oleh Kepolisian Daerah Metro Jaya di Bandara Soekarno – Hatta, Cingkareng. Polisi menemukan 3,5 kg kokain dari dalam koper dan tas tangan Rani, 3 kg pada Deni, dan 3,6 kg ditemukan di rumah Ola di Bogor. Pada hari yang sama, Tony bersama empat temannya tewas dalam baku tembak dengan polisi yang menyergap Tony di rumah kontrakannya di kawasan Cipete, Jakarta Selatan.
Menurut bekas Kepala Direktorat Reserse Metro Jaya, Senior Superintenden Alex Bambang Riatmodjo, dan kini menjadi Kepala Kepolisian Wilayah Kota Besar Bandung yang memimpin operasi penangkapan Ola dan kedua sepupunya di Cingkareng, Ola terhitung pemain sandiwara yang handal. Alex mengaku tidak percaya kalau keterlibatan Ola dalam perdagangan narkotik semata karena terpaksa. Berdasarkan penyelidikan polisi, dunia hitam itu sudah digeluti Ola saat menjadi DJ sebelum menikah dengan Tony. Belakangan dugaan Alex, dibenarkan pula oleh jaksa Mursidi dan hakim Asep.

Analisis bacaan
·      Struktur Sosial
Merika Franola / Ola
:
Kurir dan drug trafficker narkotik, mantan DJ di berbagai diskotik, istri Tony, tervonis hukuman mati atas dakwaan pengekspor – impor narkotik.
Tajudin / Tony
:
Anggota komplotan sindikat narkotika internasional, koordinator bagi sebagian warga Nigeria yang menjadi pengedar narkoba di Indonesia, suami Ola.
Rani Andriani
:
Mantan pelayan restoran, kurir pengiriman narkotik, tervonis hukuman mati, sepupu Ola.
Deni Setia Maharwan
:
Sempat menjadi lurah di Cianjur, kurir pengiriman narkotik, tervonis hukuman mati, sepupu Ola.
Alex Bambang Riatmodjo
:
Mantan Kepala Direktorat Reserse Metro Jaya, Kepala Kepolisian Wilayah Kota Besar Bandung, pemimpin operasi penangkapan Ola dan kedua sepupunya di Cingkareng.
Asep Iwan Iriawan
:
Pimpinan majelis hakim yang mengetuk vonis mati kepada Ola, Rani dan Deni, terdakwa kasus perdagangan narkotik.
Mursidi
:
Jaksa yang menangani kasus Ola, Rani, dan Deni.

·      Tindakan Sosial menurut Max Weber
a.    Tindakan rasional instrumental        : Ola yang bekerja sebagai DJ untuk menghidupi dirinya dan anaknya, Ola yang bekerja sebagai drug trafficker berpenghasilan US$ 200 untuk setiap kali mengirim kurir ke luar negeri, Rani dan Deni yang menjadi kurir narkotik untuk melunasi hutang–hutang mereka.
b.    Tindakan rasional berorientasi nilai : Ola dan Tony yang menikah agar mendapat status sosial dimasyarakat, Tony dan Ola yang melonjak kehidupannya dan berubah derajat sosial menjadi orang kaya semenjak menjadi pedagang narkotik. Bahkan mereka mengontrak dua rumah sekaligus di kawasan Bogor dan Cinere, Jawa Barat dan memberikan bantuan finansial kepada kerabat yang kesulitan.
c.    Tindakan tradisional                        : Ola yang melanggar tindakan tradisional, seperti memperoleh anak dari hubungan intimnya dengan seorang pria sewaktu berprofesi sebagai DJ,  tinggal serumah bersama Tony, dan hamil kembali dari hubungannya dengan Tony sebelum menikah.
d.    Tindakan afektif                               : Kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga Ola dan Tony, Tony sering menyiksa Ola apabila tidak mematuhinya atau karena kedua sepupu Ola mangkir dari pekerjaannya sebagai kurir narkotik dari bisnis Tony.

·      Integrasi fungsional            :  Merika Franola atau Ola adalah istri dari Tajudin atau Tony. Mereka adalah suami istri pedagang narkotik. Dua sepupu Ola, Rani dan Deni juga terlibat sebagai kurir dari bisnis yang dijalankan oleh Ola dan Tony dikarenakan terlilit hutang. Ketika Ola dan kedua sepupunya tertangkap oleh pihak kepolisian, maka keberadaan suaminya pun dapat diketahui, bahkan suaminya tewas dalam baku tembak dengan pihak kepolisian.  

·      Fakta Sosial berdasarkan pada Aras
a.    Aras masyarakat          : Ola dan suaminya Tony beserta dua orang sepupu Ola, Rani dan Deni terlibat dalam perdagangan narkotik. Sedangkan Polisi Alex, Hakim Asep dan Jaksa Mursidi adalah aparatur negara yang menangani kasus Ola dan kedua sepupunya.
b.  Aras organisasi sosial  : Tony adalah anggota komplotan sindikat narkotik internasional, juga sebagai koordinator bagi sebagian warga Nigeria yang menjadi pengedar narkotik di Indonesia mengajak Ola istrinya untuk menjadi kurir dan drug trafficker dari bisnis yang dijalankannya, kemudian Ola pun melibatkan dua orang sepupunya Rani dan Deni menjadi kurir.
c.    Aras institusi               : Pengadilan Negeri Tanggerang, Kepolisian Daerah Metro Jaya           
d.    Aras mikro                  : Hubungan antara Tony dan Ola, Tony sering menyiksa Ola apabila Ola tidak mematuhi apa yang menjadi kehendaknya.
e.    Aras masalah sosial     : Kemiskinan, kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi pada Ola, keterlibatan Ola, Rani dan Deni dalam bisnis narkotik, Tony yang disinyalir anggota komplotan sindikat narkotika internasional, juga sebagai koordinator bagi sebagian warga Nigeria yang menjadi pengedar narkotik di Indonesia.                   

·      Pendekatan Subjektif – Objektif
a.    Subjektif          : Ola yang mengaku melakoni bisnis perdagangan narkotik karena takut disiksa oleh Tony, sedangkan Rani menganggap vonis hukuman mati yang dijatuhkan kepadanya terlalu berat karena dia hanya seorang kurir. Jika dia mangkir dari tugas sebagai kurir maka Ola lah yang akan menjadi sasaran kemarahan dari Tony.
b.    Objektif          : Polisi Alex Bambang mengutarakan bahwa Ola termasuk pemain sandiwara yang handal, sangat professional dalam menjalankan tugasnya, pintar berbohong, berperilaku manis, dan lemah lembut. Alex mengaku tak percaya kalau keterlibatan Ola dalam perdagangan narkotik semata karena terpaksa, dan dugaan Alex dibenarkan pula oleh jaksa Mursidi  dan hakim Asep.
 

My Acta Diurna Copyright 2009 Sweet Cupcake Designed by Ipiet Templates Image by Tadpole's Notez