OMPU
MONANG NAPITUPULU INGIN SEDERHANAKAN BUDAYA
BATAK
Oleh : Arbain Rambey
Dalam seminggu terakhir ini, pembaca
surat kabar di Medan seakan dibombardir dengan iklan – iklan yang mengajak agar
masyarakat Batak Toba di mana pun berada untuk mengusir perusahaan yang merusak
lingkungan Bona Pasogit. Lingkungan Bona Pasogit adalah bahasa sub-etnik Batak
Toba untuk menyebut daerah tempat tinggal mereka di Sumatera Utara, tepatnya di
sekitar Danau Toba.
Pemasang
iklan itu adalah Parbato atau Pertungkoan Batak Toba, sebuah organisasi
kesukuan yang berdiri pada bulan agustus 1997. Ompu Monang Napitupulu, ketua
Parbato sejak 1997 dengan berapi-api memaparkan pentingnya tiap etnis di
Indonesia punya kesadaran diri untuk menggalang solidaritas kecil yang akhirnya
berguna untuk solidaritas Indonesia secara keseluruhan.
Batak
Toba sendiri adalah satu buah sub-etnis dari suku Batak yang memiliki streotipe umum orang Batak seperti
ceplas-ceplos, berwatak keras, senang menyanyi dan berwajah khas dengan dagu
persegi.
Watak keras tampak jelas pada Ompu
Monang. Namun dibalik kekerasan sikapnya itu Ompu Monang yang memiliki nama
asli Daniel Napitulu menyimpan banyak “kehangatan” khas Batak. Bahkan, nama
Ompu Napitupulu yang diambil setelah kelahiran cucu pertamanya, menunjukkan kehangatan
kekerabatan dalam budaya Batak Toba yang juga terlihat di upacara perkawinan
Batak Toba.
Dari satu sisi, kekerabatan ini membawa
arus positif. Rasa tanggung jawab pada pendidikan dan perawatan seorang anak bisa
melebar pada paman-pamannya. Sedangkan sisi negatifnya adalah penghamburan uang
dan waktu. Hal ini terlihat pada lamanya acara keluarga yang sangat
bertele-tele di sebuah pesta Batak, pengulosan dan pemberian nasehat kepada
mempelai di upacara perkawinan, serta
pembangunan makam-makam Batak Toba yang nilainya sampai ratusan juta rupiah per
makamnya.
Untuk mengatasi penyelewengan adat
Batak Toba, sudah beberapa kali Parbato menyelenggarakan seminar. Namun hasil
seminar masih terbatas dan belum ada tindakan nyata untuk mengatasi keborosan
adat. Untuk mengatasi kebuntuan itu, pada acara perkawinan anak perempuannya,
Ompu Monang melaksanakannya dengan efisien namun tidak keluar dari adat Batak
Toba. Salah satunya dengan membatasi ulos yang diberikan dan tidak adanya
pemberian nasehat dari banyak orang. Ompu Monang berharap contoh itu bisa
menjadi pemutus penyelewengan adat yang
boros karena menurutnya perbuatan nyata adalah nasehat terbaik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar