Yummy Cupcake

Sabtu, 07 September 2013

Resume Sosiologi Umum TPB : REVOLUSI HIJAU DAN PERUBAHAN SOSIAL DI PEDESAAN JAWA

REVOLUSI HIJAU DAN PERUBAHAN SOSIAL DI PEDESAAN JAWA
 Oleh : Sediono M.P. Tjondronegoro

            Pelaksanaan Revolusi Hijau di negara berkembang, termasuk di Indonesia, dimulai sekitar tahun 1960 yang sejak awal tujuan program ini adalah untuk meningkatkan produksi tanaman padi yang untungnya juga peningkatan tersebut dapat diusahakan tanpa mengubah struktur sosial pedesaan. Setelah sekitar seperempat abad Revolusi Hijau berlangsung dan menghasilkan beberapa “keajaiban”, termasuk di Indonesia, maka kita sebagai bangsa merasa bahwa keswasembadaan beras yang kita capai pada tahun 1984 adalah hasil Revolusi Hijau.

SWA SEMBADA BERAS
Rencana untuk mencapai keswasembadaan beras pada dasarnya sudah lama dirumuskan oleh Departemen Perencanaan Nasional atau Deparnas dalam Rencana Pembangunan Semesta (1961-1969). Sasaran-sasaran Deparnas tersebut ternyata tidak berhasil dicapai, dan ini bisa dilihat bahwa dalam periode 1961-1964 lebih dari satu juta ton beras diimpor oleh pemerintah Indonesia.
Dalam Pelita I yang disusun dan dilaksanakan oleh pemerintah Orde Baru, pola dan pendekatan Bimbingan Massal (BIMAS) dengan cepat disebarluaskan dan dalam beberapa tahun ditingkatkan lagi dari 300.000 ha menjadi 1 juta hektar. Paket Bimas yang diberikan mencangkup kredit (natura pupuk buatan, obat-obatan, bibit unggul, dan biaya hidup petani (tunai) untuk semusim (Cost of living). Ternyata, petani golongan menengah dan petani kecil/miskin dengan luas tanah garapan 0,5 ha merasa, bahwa kredit yang ditawarkan, walaupun menarik juga, menimbulkan resiko yang relative besar. Bimas, yaitu :
1)      Petani penggarap 0,5 ha, enggan menerima.
2)      Petani penggarap 0,5-0,75 ha, penerima lamban
3)      Petani penggarap 0,75 ha, penerima baik.
Dengan demikian, petanian marginal dan kecil pada akhirnya juga terkena Bimas, walaupun sebetulnya mereka ikut tidak selalu dengan hati yang rela.

PELAPISAN SOSIAL
            Penelitian SAEI yang telah disebutkan, merupakan usaha dini untuk melihat perilaku lapisan-lapisan petani dalam era Revolusi Hijau. Lapisan teratas masyarakat petani mempunyai beberapa keuntungan, kecuali meningkatkan luas tanahnya dan menarik kredit lebih banyak, lapisan tersebut tetap memanfaatkan tenaga kerja yang cukup banyak tersedia. Lapisan atas juga bertambah mampu untuk mengadakan usaha-usaha yang berkaitan dengan ekonomi perkotaan, sehingga jenis-jenis pekerjaan diluar usaha tani lebih mudah dijangkau oleh petani kaya. Sementara itu, lapisan terbawah apabila sudah tidak dapat bercocok tanam sebagai buruh tani di desanya cenderung keluar dari masyarakat pedesaan dan pindah ke kota kecil sampai besar untuk mencari pekerjaan di sektor informal seperti jasa dan perdagangan kecil. Sejak awal abad ke-19 boleh dikatakan hubungan patron-klien didaerah pedesaan Jawa sangat meluas dan menjadi khas, akibat dari pertumbuhan penduduk yang cepat. Jadi, walaupun terdapat produksi pangan yang meningkat, namun pembagian keuntungannya jauh dari merata. Proses inilah yang tampaknya juga sedang berlangsung  di Indonesia setelah kita melaksanakan Revolusi Hijau mulai 1969.

MODERENISASI
            Dengan masuknya teknologi baru di bidang pertanian sudah jelas ada lapisan-lapisan masyarakat desa yang bertambah kaya dan berkuasa atas sumberdaya. Seuatu survey (WL. Collier dkk.,1978) meeliti kembali desa-desa yang pernah di survey dalam tahun 1970, mengungapkan bahwa panen (derep) yang dahulu dikerjakan 200-500 penderep wanita per hektar dengan sistem bawon, sekarang cukup menupah 10-20 orang pria saja untuk panen satu hektar dengan sabit.
            Singkatnya beberapa indikator yang dipakai untuk mengukur tingkat komersialisasi dalam studi tersebut adalah :
1)      Penggunaan tenaga dalam peroduksi padi
2)      Usaha mengurangi biata
3)      Panen terbuka/tertutup, yaitu dereo atau upah tebas
4)      Penjualan padi
5)      Upah buruh
            Persoalan yang mungkin juga tidak mengherankan adalah pola konsumsi daerah pdesaan yang semakin menyerupai kota dan ini dipercepat oleh komunikasi massa (khususnya radio dan TV) yang berfungsi sebagai iklan dan penyebaran gambaran pola hidup perkotaan. Perubahan-perubahan social yang terjadi, disamping akibat “Revolusi Hijau” , tampaknya juga ditunjang oleh “Revolusi Pendidikan”, “Revolusi Kesehatan”, dan “Revolusi Transport” hasil  dari pembangunan selama Pemerintah Orde Baru yang patut dibanggakan, dan menurut Sajogyo, ini menunjukkan adanya moderenisasi di daerah pedesaan Jawa.

KEADAAN 1980-AN
            Sumber terakhir yang kaya untuk melukiskan dalam garis besar keadaan pertanian negara kita, adalah Sensus Pertanian 1983 dan Biro Pusat Statistik (1987). Adapun publikasi tersebut mengenai bidang-bidang sebagai berikut :
1)      Profil Rumah Tangga Pertanian, Pola Pemilikan Tanah, dan Masalah Petani Berlahan Sempit.
2)      Penggunaan Tanah Pertanian, Masalah Pertanahan dan Kedudukan Petani.
3)      Aplikasi Teknologi Pertanian, Intensifikasi Tanaman pangan dan pola Usaha Tani.
4)      Pengelolaan Pasca Panen, Perkreditan dan KUD.

PENGGUNAAN TANAH
            Sejak tahun 1984, produksi padi Indonesia dari tahun ke tahun naik sampai sekitar  25 juta ton, namun tingkat keswasembadaan tersebut merupakan keberhasilan yang marginal karena pertama, penduduk masih bertambah dengan 2,1% setahun dan kedua,  luas  areal  tanam  belum  bertambah  luas  sebanding  dengan  pertumbuhan penduduk  tersebut, atau pola konsumsi beraspun masih belum banyak berubah. Pada tahun 1983 luas tanah pertanian di Indonesia berjumlah 14,5 juta ha (8% dari daratan Indonesia), dan tegalan merupakan penggunaan paling luas (39%). Jenis penggunaan terbesar kedua adalah perkebunan rakyat (21%) dan selanjutnya luas sawah tadah hujan (15%), sawah yang dapat ditanam dua kali se-tahun (14%) dan sawah satu kali setahun (6%). Di Jawa dewasa ini sudah pula dicoba perluasan perhutanan social (social foresty) oleh Perem Perhutani, sehingga wilayah hutan pun dapat ditumpangsarikan dengan tanaman pengan yang dapat dimanfaatkan oleh petani.

KESIMPULAN

            Dari penggalian sumber data terdahulu tampak beberapa kecenderungan di daerah pedesaan, akibat dari pembangunan sektor pertanian yang selama dua puluh tahun dipelopori oleh pemerintah. Intensifikasi pertanian pangan yang diacu sebagai Revolusi Hijau sejak awal memang ditekankan pada peningkatan produksi dengan mengantarkan teknologi yang lebih maju daripada yang di kenal di kalangan petani tradisional. Bila memang ini yang dimaksud sebagai tujuan pembanguna, maka model pembangunan yang diterapkan di daerah pedesaan Indonesia berhasil, tetapi bila semula pemerataan yang dituju dan lebih sukar dicapai tanpa adanya reforma agraria, maka kesimpulannya justru berlawanan. Untuk pemecahan tuntas andalan kita sekarang adalah sektor jasa, industri kecil dan kerajinan, paling tidak di daerah pedesaan, dan sementara perkembangan di sektor kota dapat turut menunjang.

Resume Sosiologi Umum TPB : MANFAAT KEARIFAN EKOLOGI TERHADAP PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP STUDI ETNOEKOLOGI DI KALANGAN ORANG BIBOKI

MANFAAT KEARIFAN EKOLOGI TERHADAP PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP
STUDI ETNOEKOLOGI DI KALANGAN ORANG BIBOKI
Oleh : Yohanes Gabriel Amsikan

Pendahuluan
            Kearifan ekologi yang dibicarakan di sini meliputi bidang pertanian ladang berpindah, dalam perspektif etnoekologi. Wilayah Biboki merupakan daerah sabana, yakni padang rumput yang luas diselingi belukar yang tidak begitu lebat.

Metode Penelitian
            Penelitian lapangan (field work) ini dilakukan secara kualitatf (Alausuutari 1995) dan etnografi (Spradley 1972). Hal ini berarti kenyataan yang diberi makna oleh masyarakat dicoba dilihat secara emik dari kacamata masyarakat yang diteliti dan etik, yaitu dari kacamata peneliti (Putra 1994).

Hasil dan Pembahasan
            Dipandang dari aspek mata pencaharian orang Biboki yang hampir seluruhnya adalah kegiatan pertanian, maka terdapat cukup alasan untuk mengkaji kearifan ekonologi dalam konteks sejumlah pengetahuan yang berkaitan dengan kegiatan tersebut sebab dari aneka ragam pengetahuan tersebut dapat diperoleh informasi mengenai pola adaptasi ekologis yang dimilikinya, yang sejauh ini memainkan peranan yang penting dalam keberhasilan kegiatan pertanian mereka.

Simpulan
            Studi etnoekologis mengenai sistem pertanian perladangan untuk menguak kearifan ekologi orang Biboki memberikan sejumlah informasi, seperti berikut :
            Pertama, kenyataannya bahwa lingkungan alam seperti tanah, hutan dan air perlu dijaga agar tetap memberikan hasil yang memadai setiap kali diolah. Pandangan ini tidak saja dimiliki oleh masyarakat Biboki, tetapi juga orang luar Biboki, termasuk pemerintah setempat.
            Kedua,  selain persamaan,  terdapat pula perbedaan.  Bagi pemerintah,  tanah, yang masih banyak belukar atau hutannya, berguna untuk menjaga kesuburan tanah dan menjadi tempat berlindung margasatwa, sedangkan orang  Biboki beranggapan bahwa selama tanah masih menumbuhkan tanaman yang sehat hingga masa panen, selama tanah masih memberikan rezeki kepada mereka, mereka tetap yakin bahwa keadaan tanah masih baik, keadaan lingkunga mereka masih layak huni.
            Ketiga, orang Biboki memiliki pola perilaku yang berbeda, karena mereka memiliki pemahaman yang berbeda dengan pemerintah mengenai lingkungan. Kedekatan mereka dengan lingkungannya membuat mereka mengetahui dengan jelas klasifikasi tanah yang layak untuk ditempati, untuk ladang, kandang, dan lain-lain. Kearifan ekologi ini jelas berbeda dengan pemerintah yang mendasarkan pemikirannya pada temuan-temuan ilmiah mengenai kerusakan alam yang ditentukan antara lan melalui ukuran fisik dan biologis.

            Dari temuan-temuan di atas, maka dapat dimengerti bagaimana himbauan-himbauan untuk melestarikan alam “gagal”  di tanggapi oleh orang Biboki. Guna menghindari sikap etnosentris, peneliti perlu memperhatikan gagasan dari sudut pandangan orang lain, terutama masyarakat yang diteliti. Dengan demikian, dapat terjadi perpaduan sudut pandang antara peneliti dan masyarakat yang diteliti.

Raja Ampat

Kabupaten Raja Ampat adalah kabupaten bahari yang posisinya pada jantung segitiga karang dunia, tepatnya  terletak pada ujung barat Pulau Papua.Kekayaan flora dan fauna, kondisi alam yang masih asli, dan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, menjadikan kawasan ini memiliki potensi pariwisata yang luar biasa. Kabupaten Raja Ampat termasuk sebagai salah satu kawasan yang memiliki keanekaragaman hayati laut tropis terkaya (CII 2004 dalam Dinas Perikanan dan Kelautan Raja Ampat 2007). Penelitian yang dilakukan oleh Conservation International Indonesia (CII 2004) menyimpulkan bahwa laut Kabupaten Raja Ampat termasuk salah satu kawasan terumbu karang terbaik di Indonesia. Tercatat ada sekitar 46 kawasan wisata pesisir dan dan bahari yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati laut yang dapat dikembangkan untuk kegiatan ekowisata bahari. Salah satu pulau di Raja Ampat yang telah dikembangkan kegiatan ekowisata bahari adalah Pulau Mansuar di Distrik Meos Mansaar. Persepsi masyarakat di Distrik Meos Mansaar tergolong baik dan setuju dengan pengembangan ekowisata bahari di wilayah mereka. Pengembangan ekowisata bahari di Mansuar ini melalui kegiatan menyelam, snorkel dan kegiatan alternatif seperti pengamatan burung dan wisata budaya. Kegiatan ini menyebabkan terjadinya interaksi antara wisatawan dan masyarakat lokal sehingga  menimbulkan dampak sosial maupun ekonomi bagi masyarakat. Terdapat dua dampak yang muncul dari aktivitas ekowisata bahari ini, yaitu dampak positif dan dampak negatif. Dampak positifnya adalah semakin terpeliharanya perilaku masyarakat dalam menjaga lingkungan hidup dan terjadinya peningkatan lapangan kerja, pendapatan masyarakat lokal, pengeluaran, dan asset produksi. Dampak negatifnya adalah terjadinya konflik kepemilikan lahan.

Resume Sosiologi Umum TPB : PERUBAHAN EKOLOGI PERTANIAN : DARI REVOLUSI HIJAU KE SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION

PERUBAHAN EKOLOGI PERTANIAN : 
DARI REVOLUSI HIJAU KE SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION
Oleh : Rina Mardiana dan Soeryo Adiwibowo

Intensifikasi dan Penyeragaman Sistem Pertanian
            Sejak 1960an kebijakan pertanian yang dilancarkan pemerintah lebih mengarah pada intensifikasi sistem pertanian pangan. Dalam hal ini, Revolusi Hijau adalah contoh kasus yang sering dibahas dan dikritik oleh banyak kalangan. Revolusi Hijau merupakan program yang mengintensifkan penggunaan bibit varietas unggul, pestisida dan pupuk kimia, serta jaringan irigasi. Pada tahun 1984 pemerintah mengumumkan bahwa Indonesia telah berhasil melakukan swasembada beras dan memperoleh penghargaan dari badan PBB untuk pangan dan pertanian (FAO). Ironisnya, berselang sepuluh tahun kemudian, Indonesia kembali menjadi negara pengimpor beras. Revolusi Hijau mampu mencapai tujuan makro, namun pada tingkat mikro telah menimbulkan berbagai masalah. Hal-hal ini pulalah yang menjadi indicator hingga akhirnya Revolusi Hijau dinyatakan gagal.
            Pola Revolusi Hijau juga terjadi di bidang perikanan, yakni Revolusi Biru. Ada dua hal penting berkaitan dengan intensifikasi dan monokultur budidaya ini. Pertamapenggunaan pestisida kimia secara terus menerus dalam jangka panjang dapat menimbulkan resistensi (kekebalan) dan resurjensi (kemunculan kembali) hama. Kedua, penggunaan satu varietas saja dalam satu sector pertanian membuat sistem pertanian rentan, karena bila terserang hama, maka seluruh ladang, sawah, tambak, dan kebun akan mengalami gagal panen.
            Hingga sekarang persoalan beras terus menyita perhatian, sehingga menyisihkan potensi sumber pangan yang lain. Hal ini menyiratkan bahwa salah satu faktor krisis pertanian adalah penyeragaman jenis pangan pokok di seluruh Indonesia, yaitu beras.

Sistem Pertanian Lokal Diabaikan
            Begitu banyaknya curahan perhatian, dana, upaya penelitian dan pengadaan sarana pertanian yang erserap untuk mensukseskan aneka revolusi monokultur, maka pemerintah dan lembaga penelitian mengabaikan kajian, pengembangan, dan perlindungan sistem pertanian dan pangan lokal. Kalaupun ada upaya kajian untuk pengembangan pangan lokal, biasanya tidak tersedia dana dan dukungan politik yang memadai untuk menerapkan hasil kajian tersebut. Dengan kata lain, sistem pertanian lokal tidak hanya diabaikan, tapi juga telah di singkirkan secara sistematik.

Konversi Lahan Subur
            Konversi lahan merupakan masalah yang mendasar. Setiap tahun konversi lahan pertanian subur diperkirakan mencapai 30 ribu ha pertahun (KLH 2002), dimana sebagian besar lahan yang di konversi tersebut merupakan lahan sawah yang beririgasi teknis dan sebagian besar berada di pulau Jawa. Di tengah kerugian tersebut pemerintah justru mencetak sawah baru diluar jawa dimana prasarana irigasi belum tersedia dengan baik dan areal tanah berada dalam tingkat kesuburan rendah. Perl disadari bahwa krisis pertanian dan pangan tidak bisa diatasi hanya dengan mencetak sawah, namun memerlukan kebijakan dan pelaksanaan perlindungan semua lahan produktif untuk pertanian diseluruh Indonesia. Moratorium (pengurangan) konversi lahan produktif adalah pilihan kebijakan yang lebih baik.

Mengabaikan Sosial-Ekonomi Petani
            Kenyataan menunjukkan bahwa pembangunan di bidang pertanian tidak mampu mengangkat kondisi sosial-ekonomi petani, terutama petani padi. Akibatnya citra petani sebagai golongan yang miskin, buta huruf, kumuh, dan tidak berkembang muncul sebagai resultante dari kegagalan pembangunan dalam mengangkat tinggi tingkat sosial-ekonomi masyarakat petani.

            Sebagai upaya untuk mendekatkan teknologi kepada petani, maka diperlukan pendekatan baru dan salah satunya adalah Sistem Intensifikasi Padi (System of Rice Intensification-SRI). Metode SRI (System of Rice Intensification) merupakan sebuah teknologi berkelanjutan yang menguntungkan petani karena memberikan hasil produksi lebih tinggi. Pada tahun 2004, semakin banyak petani kecil di Indonesia yang mulai menerapkan SRI, sebagai cara yang cukup revolusioner dalam bercocok tanam padi.

Resume Sosiologi Umum TPB : SALURAN PEMERATAAN INFORMASI DI PEDESAAN : KORAN MASUK DESA ATAU JARINGAN KOMUNIKASI SOSIAL ?

SALURAN PEMERATAAN INFORMASI DI PEDESAAN : KORAN
MASUK DESA ATAU JARINGAN KOMUNIKASI SOSIAL ?
Oleh : M. Alwi Dahlan

            Saluran informasi untuk masyarakat pedesaan sekarang bertambah sebuah lagi. Surat kabar yang selama ini merupakan media yang terutama tertuju untuk daerah perkotaan, akan mengembangkan sayapnya ke desa mulai tahun ini dengan Proyek Koran Masuk Desa (KMD). Rencana ini sangat menarik jika diingat bahwa KMD bukanlah sarana komunikasi yang pertama yang sengaja diarahkan untuk membawa informasi pembangunan ke desa-desa. Sarana baru yang paling menonjol tentunya televisi; dalam waktu relatif singkat medium ini telah menyebar ke seluruh pelosok berkat SKSD Palapa dan pesawat TV umum, radio dan kaset pun tidak kalah cepat pertumbuhannya. Di samping itu terdapat kegiatan-kegiatan informasi baru yang diorganisir untuk mempercepat pengaruh komunikasi, termasuk pula adaptasi atau pemanfaatan pranata-pranata tradisional. Demikian banyaknya saluran dan kesempatan komunikasi ke desa, sehingga di sana-sini kedengaran bahwa desa telah “kebanjiran informasi”.

PEMERATAAN PERS
            Banyak yang ingin dicapai dan dijangkau oleh Koran Masuk Desa, tetapi konstelasi komunikasi pedesaan secara keseluruhannya rupanya belum menjadi pertimbangan yang mendalam. Jelas terlihat bahwa tujuan KMD yang utama adalah pengembangan industri pers itu sendiri dan pemerataan yang dimaksud diarahkan pada kesempatan di bidang tersebut. Sementara itu ada berbagai hambatan yang digolongkan kepada masalah-masalah “pemerataan kemampuan”. Misalnya, sebagian biaya KMD mungkin lebih mahal per unit koran dibanding dengan ongkos pers kota. Dengan demikian harga KMD sampai di tempat tidak akan begitu murah menurut ukuran kantong desa. Ada juga masalah kemampuan baca dan sementara itu tidak dapat dilupakan adanya persaingan berat dari media lain yang telah masuk ke desa. Jika dihadapkan pada pilihan antara media baca dengan televisi atau radio, maka orang akan cenderung memilih media elektronik yang lebih mudah-apalagi kalau media mudah tersebut juga murah, bahkan gratis.

SASARAN MANA ?
            Meskipun dihadapkan kepada segala masalah ini, KMD sebenarnya tetap mempunyai prospek untuk berhasil sampai ke tingkatan tertentu. Dari sudut lain, pengalaman juga menunjukkan bahwa usaha penyebaran KMD belum tentu dapat mencapai hasil yang serupa di semua tempat. Ini menunjukkan bahwa orientasi pemerataan secara geografis (perluasan wilayah) saja tidak dengan sendirinya membawa penambahan penyebaran-apalagi pemeretaan informasi yang didengung-dengungkan. Pemerataan informai mempunyai cakupan yang lebih luas, sasaran yang jauh berbeda serta tujuan akhir yang lebih jauh dari sekedar penyetoran fisik atau kuantatif. Sasaran ini lebih luas dari sasaran khalayak KMD. KMD tertuju kepada orang yang banyak-sedikitnya telah mempunyai kemampuan dasar, baik dalam arti kata ekonomi maupun dalam penyerapan informasi.

ELITE INFORMASI
            Perubahan terdahulu memberikan kesan yang kuat bahwa kehidupan KMD akan berkisar terutama di seputar semacam “elite informasi” desa, yaitu mereka yang mampu mempunyai akses terhadap KMD karena kekuatan ekonomi atau status posisi yang mereka duduki. Kesan ini makin kuat jika diingat bahwa sebagian dari elite ini bertindak pula sebagai “penguasa informasi” yang menentukan ruang gerak dan kehidupan KMD. Dapat dikatakan bahwa KMD memperkuat elite informasi, bahkan melahirkan elite penguasa informasi. Terpusatnya peredaran KMD ke tangan segolongan masyarakat tidak dengan sendirinya berarti tidak baik. Sebagai umumnya pendekatan komunikasi pembangunan yang lainnya di Indonesia, KMD juga bertolak dari model komunikasi dua langkah (two step flow) atau berlangkah ganda yang pada dasarnya menyatakan bahwa arus informasi mengalir “dari media ke para pemuka pendapat dan dari mereka itu ke bagian-bagian masyarakat yang kurang aktif”. Banyak kasus yang menunjukkan bahwa elite menahan informasi yang relevan sampai kepadanya. Malahan bimbingan dan penyuluhan pun banyak yang hanya berhenti sampai kepada kalangan yang terbatas ini yang kehidupannya sudah baik juga seperti petani kaya. Mereka yang tergolong benar-benar miskin kelihatannya sangat jarang terjangkau. Lebih dari itu, informasi dan inovasi baru kadang-kadang dipergunakan hanya untuk keuntungan sendiri dengan cara yang merugikan orang lain, termasuk yang miskin. Masalah seperti ini adalah lazim dalam tata penyaluran informasi. Sebagai akibatnya, selalu terdapat kecenderungan untuk menahan dan mempergunakan informasi yang bernilai tinggi untuk kepentingan sendiri.

ALTERNATIF JALUR

            Dari gambaran ini tampak bahwa pemasukan informasi bagi elite tidak dapat dianggap sebagai pemerataan kepada rakyat banyak. Disamping itu, jaringan sosial elite biasanya tidak sampai ke bawah atau berbeda dengan jaringan di lapisan tersebut. Sebagai akibat dari semua ini ketimpangan informasi (communication effect gap) antara elite dengan golongan-golongan yang lebih miskin menjadi lebih besar. Ketimpangan ini agaknya paling kentara pada golongan yang miskin strukturalnya yang barangkali berada di bawah ”garis kemiskinan informasi”. Persoalan menjadi kritis karena informasi yang langka bukan hanya informasi yang telah “ditahan” oleh orang yang lebih mampu atau yang dapat meningkatkan taraf hidupnya tetapi juga yang diperlukan untuk sekedar mempertahankan tingkat yang ada. Karena itu pemecahan masalah betul-betul harus ditujukan ke jaringan-jaringan lokal yang berbeda pula bentuknya dari tempat ke tempat. Metodologi untuk menemukan jaringan-jaringan ini tersedia, tetapi usahanya memerlukan ketekunan. 

Selasa, 26 Maret 2013

Resume Sosiologi Umum TPB : PENGGULINGAN KEKUASAAN : ANTARA ORLA DAN ORBA


PENGGULINGAN KEKUASAAN : ANTARA ORLA DAN ORBA
Oleh : Panji Semirang

            Pengertian Orde Lama adalah tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara zaman Presiden Soekarno. Tatanan penggantinya, yang berusaha melakukan koreksi atas Orla, disebut Orde Baru yang kemudian di koreksi lagi oleh Orde Baru yang lebih Baru (Orbaba). Pada dua kali pergantian orde tersebut terjadi pertumpahan darah, langsung maupun tidak langsung.
            Pertumpahan darah pergantian Orla dilakukan oleh PKI yang kemudian terjadi balas dendam yang cukup dahsyat. Pertumpahan darah pergantian Orba dilakukan oleh orang-orang bersenjata terhadap pendemo di Universitas Trisakti. Begitu pula Orbaba yang menggantikan Orde Baru melalui proses yang sama.

PERSAMAANNYA
            Mahasiswa pada awalnya bergerak mengadakan aksi atas nama moral. Apa yang tidak baik diserang, minta diperbaiki. Harga BBM dan tarif angkutan dinaikkan dalam rupiah yang terlebih dahulu jatuh. Arah politik kemudian menjadi menonjol. Kedua presiden agar diturunkan. Semua sistem yang diberlakukan dengan bengkok agar diperbaiki secara mendasar. Kobaran aksi demo lebih dipicu dengan mengorbankan jiwa pendemo. Jatuhnya korban di Universitas Trisakti memicu percepatan aksi reformasi selanjutnya. Kedua demo antara lain disebabkan oleh parpol yang pongah dan presiden yang sangat berkuasa.

PERBEDAANNYA
            Pada awal Orba, makin lama hubungan pendemo dan ABRI makin erat. Selain itu, terus terang media massa kali ini juga membantu pendemo. Pada tahun 1966 tidak ada korban jiwa lebih banyak. Pada tahu 1998, penculikan, penembakan, dan kerusuhan, konon terkoordinasi. Peristiwa tragis sejarah yang berulang sebenarnya dapat “dicegah”. Semacam hukum karma dapat tiba. Namun, manakala manusia pelaku sejarahnya berhati-hati dan sadar akan sejarah, dia akan terhindar untuk mengulang. Adalah menyedihkan seseorang yang pernah “menggulingkan” kekuasaan mengalami digulingkan kekuasaannya oleh pihak lain.

Resume Sosiologi Umum TPB : SAMPANG DAN TRADISI PERLAWANAN


SAMPANG DAN TRADISI PERLAWANAN
Oleh : Anwar Hudijono

            Acap kali mendengar daerah Sampang (Madura), orang luar mengasosiasikan dengan sosok masyarakat yang sifatnya kaku dan keras. Masyarakat yang hidup di daerah tandus, berbukit-bukit, dalam deraan dan memiliki tradisi heroik melakukan perlawanan terhadap kezaliman penguasa.
            Seperti yang terjadi pada tahun 1993. Ketika petani miskin mempertahankan martabat dan hak-hak mereka atas tanah yang akan dijadikan waduk. Peristiwa ini kemudian menyejarah dengan sebutan Tragedi Nipah. Bukan itu saja, pada tahun 1997 masyarakat bergolak menentang hasil pemilihan umum karena dinilai tidak adil, penuh kecurangan dan rekayasa untuk memenangkan partainya penguasa, Golkar. Peristiwa ini dicatat sebagai cikal bakal penting perjuangan demokrasi di Indonesia. Sampang yang memberi ilham masyarakat lain bahwa kalau membangun demokrasi, jangan cuma bicara teori tetapi harus melalui action melawan rezim otoritarian.
            Perlawanan merupakan ornamen kultural Sampang. Sampai rezim Orde Baru runtuh, Sampang merupakan daerah yang sulit “ditaklukkan”. Lihat saja proyek Waduk Nipah yang gagal. Kenapa masyarakat mampu melawan begitu alot dengan stamina tinggi, termasuk terhadap proses politik birokratisasi Orde Baru di mana negara hendak mengusai seluruh aspek kehidupan masyarakat ? Bisa jadi karena mereka mewarisi tradisi perlawanan yang terbentuk melalui perjalanan sejarah yang panjang.
 

My Acta Diurna Copyright 2009 Sweet Cupcake Designed by Ipiet Templates Image by Tadpole's Notez