REVOLUSI
HIJAU DAN PERUBAHAN SOSIAL DI PEDESAAN JAWA
Oleh : Sediono M.P. Tjondronegoro
Pelaksanaan
Revolusi Hijau di negara berkembang, termasuk di Indonesia, dimulai sekitar
tahun 1960 yang sejak awal tujuan program ini adalah untuk meningkatkan
produksi tanaman padi yang untungnya juga peningkatan tersebut dapat diusahakan
tanpa mengubah struktur sosial pedesaan. Setelah sekitar seperempat abad
Revolusi Hijau berlangsung dan menghasilkan beberapa “keajaiban”, termasuk di
Indonesia, maka kita sebagai bangsa merasa bahwa keswasembadaan beras yang kita
capai pada tahun 1984 adalah hasil Revolusi Hijau.
SWA
SEMBADA BERAS
Rencana untuk mencapai keswasembadaan
beras pada dasarnya sudah lama dirumuskan oleh Departemen Perencanaan Nasional
atau Deparnas dalam Rencana Pembangunan Semesta (1961-1969). Sasaran-sasaran
Deparnas tersebut ternyata tidak berhasil dicapai, dan ini bisa dilihat bahwa
dalam periode 1961-1964 lebih dari satu juta ton beras diimpor oleh pemerintah
Indonesia.
Dalam Pelita I yang disusun dan
dilaksanakan oleh pemerintah Orde Baru, pola dan pendekatan Bimbingan Massal
(BIMAS) dengan cepat disebarluaskan dan dalam beberapa tahun ditingkatkan lagi
dari 300.000 ha menjadi 1 juta hektar. Paket Bimas yang diberikan mencangkup
kredit (natura pupuk buatan, obat-obatan, bibit unggul, dan biaya hidup petani
(tunai) untuk semusim (Cost of living). Ternyata, petani golongan menengah dan
petani kecil/miskin dengan luas tanah garapan 0,5 ha merasa, bahwa kredit yang ditawarkan,
walaupun menarik juga, menimbulkan resiko yang relative besar. Bimas, yaitu :
1) Petani
penggarap 0,5 ha, enggan menerima.
2) Petani
penggarap 0,5-0,75 ha, penerima lamban
3) Petani
penggarap 0,75 ha, penerima baik.
Dengan demikian, petanian marginal dan
kecil pada akhirnya juga terkena Bimas, walaupun sebetulnya mereka ikut tidak
selalu dengan hati yang rela.
PELAPISAN
SOSIAL
Penelitian
SAEI yang telah disebutkan, merupakan usaha dini untuk melihat perilaku
lapisan-lapisan petani dalam era Revolusi Hijau. Lapisan teratas masyarakat
petani mempunyai beberapa keuntungan, kecuali meningkatkan luas tanahnya dan
menarik kredit lebih banyak, lapisan tersebut tetap memanfaatkan tenaga kerja
yang cukup banyak tersedia. Lapisan atas juga bertambah mampu untuk mengadakan
usaha-usaha yang berkaitan dengan ekonomi perkotaan, sehingga jenis-jenis
pekerjaan diluar usaha tani lebih mudah dijangkau oleh petani kaya. Sementara
itu, lapisan terbawah apabila sudah tidak dapat bercocok tanam sebagai buruh
tani di desanya cenderung keluar dari masyarakat pedesaan dan pindah ke kota
kecil sampai besar untuk mencari pekerjaan di sektor informal seperti jasa dan
perdagangan kecil. Sejak awal abad ke-19 boleh dikatakan hubungan patron-klien
didaerah pedesaan Jawa sangat meluas dan menjadi khas, akibat dari pertumbuhan
penduduk yang cepat. Jadi, walaupun terdapat produksi pangan yang meningkat,
namun pembagian keuntungannya jauh dari merata. Proses inilah yang tampaknya
juga sedang berlangsung di Indonesia
setelah kita melaksanakan Revolusi Hijau mulai 1969.
MODERENISASI
Dengan masuknya
teknologi baru di bidang pertanian sudah jelas ada lapisan-lapisan masyarakat
desa yang bertambah kaya dan berkuasa atas sumberdaya. Seuatu survey (WL.
Collier dkk.,1978) meeliti kembali desa-desa yang pernah di survey dalam tahun
1970, mengungapkan bahwa panen (derep) yang dahulu dikerjakan 200-500 penderep
wanita per hektar dengan sistem bawon, sekarang cukup menupah 10-20 orang pria
saja untuk panen satu hektar dengan sabit.
Singkatnya
beberapa indikator yang dipakai untuk mengukur tingkat komersialisasi dalam
studi tersebut adalah :
1) Penggunaan
tenaga dalam peroduksi padi
2) Usaha
mengurangi biata
3) Panen
terbuka/tertutup, yaitu dereo atau upah tebas
4) Penjualan
padi
5) Upah
buruh
Persoalan yang mungkin juga tidak
mengherankan adalah pola konsumsi daerah pdesaan yang semakin menyerupai kota
dan ini dipercepat oleh komunikasi massa (khususnya radio dan TV) yang
berfungsi sebagai iklan dan penyebaran gambaran pola hidup perkotaan.
Perubahan-perubahan social yang terjadi, disamping akibat “Revolusi Hijau” ,
tampaknya juga ditunjang oleh “Revolusi Pendidikan”, “Revolusi Kesehatan”, dan
“Revolusi Transport” hasil dari
pembangunan selama Pemerintah Orde Baru yang patut dibanggakan, dan menurut
Sajogyo, ini menunjukkan adanya moderenisasi di daerah pedesaan Jawa.
KEADAAN 1980-AN
Sumber
terakhir yang kaya untuk melukiskan dalam garis besar keadaan pertanian negara
kita, adalah Sensus Pertanian 1983 dan Biro Pusat Statistik (1987). Adapun
publikasi tersebut mengenai bidang-bidang sebagai berikut :
1)
Profil Rumah Tangga Pertanian, Pola
Pemilikan Tanah, dan Masalah Petani Berlahan Sempit.
2)
Penggunaan Tanah Pertanian, Masalah
Pertanahan dan Kedudukan Petani.
3)
Aplikasi Teknologi Pertanian,
Intensifikasi Tanaman pangan dan pola Usaha Tani.
4)
Pengelolaan Pasca Panen, Perkreditan
dan KUD.
PENGGUNAAN
TANAH
Sejak tahun 1984, produksi padi
Indonesia dari tahun ke tahun naik sampai sekitar 25 juta ton, namun tingkat keswasembadaan
tersebut merupakan keberhasilan yang marginal karena pertama, penduduk masih bertambah dengan 2,1% setahun dan kedua,
luas areal tanam
belum bertambah luas
sebanding dengan pertumbuhan penduduk tersebut, atau pola konsumsi beraspun masih
belum banyak berubah. Pada tahun 1983 luas tanah pertanian di Indonesia
berjumlah 14,5 juta ha (8% dari daratan Indonesia), dan tegalan merupakan
penggunaan paling luas (39%). Jenis penggunaan terbesar kedua adalah perkebunan
rakyat (21%) dan selanjutnya luas sawah tadah hujan (15%), sawah yang dapat
ditanam dua kali se-tahun (14%) dan sawah satu kali setahun (6%). Di Jawa
dewasa ini sudah pula dicoba perluasan perhutanan social (social foresty) oleh Perem Perhutani, sehingga wilayah hutan pun
dapat ditumpangsarikan dengan tanaman pengan yang dapat dimanfaatkan oleh petani.
KESIMPULAN
Dari penggalian sumber data
terdahulu tampak beberapa kecenderungan di daerah pedesaan, akibat dari
pembangunan sektor pertanian yang selama dua puluh tahun dipelopori oleh
pemerintah. Intensifikasi pertanian pangan yang diacu sebagai Revolusi Hijau
sejak awal memang ditekankan pada peningkatan produksi dengan mengantarkan
teknologi yang lebih maju daripada yang di kenal di kalangan petani
tradisional. Bila memang ini yang dimaksud sebagai tujuan pembanguna, maka
model pembangunan yang diterapkan di daerah pedesaan Indonesia berhasil, tetapi
bila semula pemerataan yang dituju dan lebih sukar dicapai tanpa adanya reforma
agraria, maka kesimpulannya justru berlawanan. Untuk pemecahan tuntas andalan
kita sekarang adalah sektor jasa, industri kecil dan kerajinan, paling tidak di
daerah pedesaan, dan sementara perkembangan di sektor kota dapat turut
menunjang.